Kedai Kopi

Oleh: Mula Harahap

Kalau hari pembayaran uang pensiun bersamaan saatnya dengan masa liburan sekolah, maka saya sering diajak oleh kakek untuk menemaninya mengambil uang pensiun.

Bisanya Kores Harahap–pensiunan guru sekolah rakyat itu–akan mendayung sepedanya, yang pada masa saya kecil disebut juga sebagai “kereta angin” atau “lereng”. Tapi khusus pada “hari raya” seperti di atas, kakek memilih becak mesin sebagai kendaraan.

Kakek saya memiliki postur yang tambun dan raut wajah seperti orang Tionghoa. Tukang becak acapkali menyapanya dengan sebutan “babah”. “Dua puluh lima peraklah, babah…” kata si penarik becak. Kakek tidak suka dengan sebutan itu. Kalau ia tahu bahwa si penarik becak bukan orang Batak–dan ini tentu bisa terdeteksi dari aksennya–maka kakek selalu akan berkata, “Ah, baba ni amam….” (“Ah, mulut bapamulah…”), kemudian barulah ia menawar harga yang diminta si penarik becak.

Selesai mengambil uang pensiun di dekat rumah tahanan Jalan Sukamulia–Medan, kami kembali naik becak ke rumah kakek di Kampung Sidodadi. Tapi seperti biasa, kami tidak langsung pulang ke rumah. Kakek akan mampir di sebuah kedai kopi di depan SMA Prayatna,
Jalan Serdang.

Saya masih bisa membayangkan suasana kedai kopi tersebut. Mejanya berbentuk bulat atau segi enam. Bagian atasnya ditutupi oleh pualam putih. Bubuk kopi yang hendak disedu ada di dalam sebuah kantong kain besar, yang menyerupai pundi-pundi. Bubuk di dalam pundi-pundi ini tak pernah diganti, tapi selalu ditambah bila ada yang memesan. Ke dalam bubuk inilah air panas dituang dan tirisan airnya ditampung di mangkok. Mangkoknya terbuat dari porselen yang tebal, dan “saking” tuanya penuh dengan guratan retak-retak.

Pada hari istimewa seperti saya sebut di atas, kakek memesan kopi susu. Ada pun saya, hanya diizinkan minum teh manis. Lalu kakek akan menikmati kopinya dengan perlahan-lahan seraya membaca koran sambil sesekali menyalakan rokok “pusuk”-nya, yaitu tembakau yang digulung dengan daun pucuk enau yang telah dikeringkan.

Pekerjaan menemani kakek minum kopi sebenarnya adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi kebosanan itu menjadi sedikit berkurang, karena saya diizinkan untuk memakan kue bolu gulung yang berisi selai berwarna merah itu sepuas-puasnya. Kadang-kadang saya juga ikut
membaca koran. Tentu saja isi koran yang bisa saya nikmati hanyalah komik strip “Aji Jole” yang isterinya bernama Siti Zuleha dan tinggalnya di Pangkalan Dodek, sebuah kota kecil dekat Batangkuis.

Dahulu saya tak mengerti apa yang membuat kakek betah duduk di kedai kopi. Tapi ketika saya beranjak remaja, dan kakek tinggal serumah dengan kami, mengertilah saya apa yang membuatnya betah di kedai kopi. Kedai kopi ternyata adalah tempat dimana ia diterima, berbagi infromasi dan menghabiskan sisa waktu hidupnya.

Pagi hari, setelah mandi, duduk berdoa di meja, membaca Alkitab dan koran “Mimbar Umum” berlama-lama, maka pergilah ia ke kedai kopi “Si Ahok” di dekat Pasar Kampung Baru. Menjelang tengah hari barulah ia kembali untuk makan siang.

Sehabis makan siang, ia tidur sebentar. Menjelang sore, ia mandi lalu kembali ke kedai kopi sampai menjelang malam. Dan malam harinya, kembali ia melakukan ritus yang sama: Berdoa dan membaca Alkitab. Ia tak terlalu suka mendengar siaran radio. Dan sampai sekarang saya tak pernah pula bisa mengerti apa yang membuatnya betah membaca Alkitab.

Ketika saya sudah remaja, saya sering melihat kakek di kedai kopi Si Ahok. Ia duduk bercerita dan semua orang di sekelilingnya menatap kepadanya. Kadang-kadang saya berpikir apa yang membuat orang-orang itu selalu betah mendengar cerita kakek setiap hari.

Kalau kakek melihat saya, ia pasti akan memanggil saya untuk mampir dan memperkenalkannya kepada teman-temannya. Saya malu dan tak suka akan perlakuan seperti itu. (Apalagi, sebagai remaja saya sudah tidak tertarik lagi untuk memakan kue bolu gulung berisi selai. Ada hal-hal lain di dunia remaja yang jauh lebih menarik daripada kue
bolu berisi selai…). Karena itu, kalau harus melintas dari depan kedai “Si Ahok” saya selalu membuang muka agar tidak dilihat oleh kakek.

Kedai kopi telah menjadi bagian dari kehidupan kakek. Disamping kedai kopi yang berada di Jalan Serdang dan kedai kopi “Si Ahok” maka saya pernah pula diajak kakek ke kedai kopi yang ada di Jalan Sambu, di Jalan Kanton, di Binjai dan beberapa tempat lainnya.

Kedai kopi seperti yang dahulu sering dikunjungi kakek itu ternyata adalah khas kedai kopi “melayu”. Kedai kopi seperti ini, yaitu yang mejanya berlapis pualam, kursinya bergaya cina, cangkirnya dari porselen tebal dan tempat orang berbual berlama-lama ternyata hanya bisa dijumpai di kota-kota di pesisir Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Semenanjung Malysia.

Pemiliknya biasanya adalah orang Tionghoa. Tapi di depan kedai kopi tersebut biasanya ada “counter” martabak/roti canai milik orang Keling dan “counter” nasi ramas/mie rebus milik orang Melayu atau Jawa. Si pemilik, yaitu orang Tionghoa, biasanya hanya menghidangkan
kopi/teh/penganan kecil dan menerima pembayaran atas semua makanan/minuman yang disantap pengunjung. Dialah kemudian yang meneruskan apa yang menjadi jatah orang Keling atau orang Melayu itu.

Di sebagian besar kedai kopi, setengah dindingnya biasanya dilapisi dengan keramik putih sehingga menyerupai kamar mandi. Di langit- langitnya ada kipas angin yang berdengung. Di dindingnya ada kalender Tionghoa yang tebal dan harus dirobek setiap hari. Dahulu
saya ingin sekali memiliki kalender yang seperti ini. Merobek kalender setiap hari, selalu akan memberi sensasi tertentu.

Suasana kedai kopi seperti ini sangat demokratis. Orang Tionghoa, Batak, Melayu, Padang, Keling, Bugis dan apa saja, berbaur di dalam. Masing-masing melakukan diskusi atau kongkownya sendiri. Ada yang membahas politik, bisnis atau kode buntut.

Saya pernah menemukan kedai kopi seperti ini di Palembang, Jambi, Pakanbaru, Rantau Prapat, Pematang Siantar, Medan, Lhok Seumawe, Banda Aceh, Pontianak, Makasar dan Kuala Lumpur.

Di Makasar, kalau saya tak salah, nama kedai kopinya adalah “Tjoen Njan”. Ia ada dekat kantor walikota. Sepanjang hari ia selalu ramai diisi oleh pegawai negeri, dosen, tentara, tukang becak dan pengangguran. Begitu terkenal dan menyatunya kedai kopi ini dengan
denyut nadi kehidupan kota Makasar sehingga menginspirasikan si pemilik untuk membuka cabang kedai kopi yang sama di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Tapi saya tidak tahu, apakah kedai ini mengalami sukses yang sama seperti yang dialami kedai yang ada di Makassar.

Di Kuala Lumpur, salah satu kedai kopi seperti ini terdapat di dekat Putera World Center. Orang Tionghoa, Melayu dan Keling dari kelas bawah berbaur di dalam. Yang paling istimewa dari kedai-kedai kopi Malaysia adalah apa yang disebut sebagai “kopi tarik”. Kopi bercampur susu dituang berulang kali dari satu mangkok ke mangkok yang lain, dari ketinggian tertentu, sehingga tercipta “whipped cream” seperti yang terdapat pada “capuccino” yang ada di Starbuck atau Cafe Oh-La-La-La.

Beberapa waktu yang lalu di Jakarta tidak terlalu banyak kedai kopi yang enak dan murah meriah. Memang di berbagai lobby atau bar hotel kita bisa menikmati kopi. Tapi suasananya tidaklah sehangat kedai kopi “melayu” yang ada di pesisir Nusantara. Kemudian, bagi orang
tak punya seperti saya, suasana kedai kopi di bar/kafe hotel terkesan kurang nyaman. Di kiri-kanan kita mendengar orang-orang berdasi berbisik-bisik membicarakan bisnis “menjual negara”
yang nilainya miliaran rupiah.

Restoran MacDonald Sarinah, Jl. Thamrin, Jakarta pernah “diperkosa” menjadi kedai kopi “melayu” seperti yang saya uraikan di atas. Orang- orang Batak pemburu borongan konstruksi dari Kantor Balaikota dan orang-orang Manado para pelaku “bisnis langit” dahulu sering mengerubung di MacDonald. Mereka memesan kopi segelas, bicara ngalor-ngidul dan tertawa terbahak-bahak sepanjang hari. Tentu saja manajemen MacDonald menjadi gerah melihat kehadiran orang-orang seperti ini. Karena itu dikeluarkanlah ketentuan yang sangat ketat: dilarang merokok di dalam ruangan. Lalu, apalagi nikmatnya minum kopi kalau tidak boleh merokok? Karena itu bubarlah kerumunan orang-orang dari MacDonald.

Di kemudian hari muncullah gerai kopi di beberapa mall di Jakarta . Ada “Exelso” dan “Oh-La-La-La”. Kedai kopi ini menjadi oasis bagi para perokok, yang selalu ditegur satpam bila merokok di sembarang tempat di mall.

Dahulu saya senang duduk-duduk di cafe “Excelso” yang ada di Plaza Indonesia. Tapi beberapa kali saya duduk di sana, selalu saja ada lelaki muda dari kedai “Dunkin Donut” di sebelah sana yang mempermainkan lidahnya kepada saya. (Disangkanya saya seorang asing
yang senang bermain seks dengan kawan sejenis). Sejak peristiwa itu saya tidak terlalu suka lagi duduk di minum kopi seorang diri di kafe yang ada di beberapa mall di Jakarta.

Kedai “Dunkin Donat” kadang-kadang juga didaulat menjadi kedai kopi rakyat seperti yang ada di pulau-pulau luar Jawa. Harga semangkok kopi di “Dunkin Donut” memang relatif murah bila dibandingkan dengan apa yang disajikan di kafe atau di lobby hotel. Tapi yang menjadi masalah ialah, “Dunkin Donut” sudah lebih dahulu populer bagi kalangan remaja. Karena itu agak kurang elok bila lelaki setengah baya seperti saya duduk seorang diri berlama-lama
di “Dunkin Donut”.

Pada beberapa tahun terakhir ini di Jakarta hadir pula kedai kopi kelas atas seperti “Starbuck”. Harus saya akui, suasana di “Starbuck” memang sangat nyaman. (Dan suasana adalah hal yang dibeli dan dihirup orang di kedai kopi). Tapi suasana itu terlalu mahal bagi ukuran kantong saya. Kalau untuk segelas “cappucino” atau “coffe of the day” dan sepotong kue saya harus membayar 50.000 rupiah, itu sungguh keterlaluan. Dan lagipula, selama saya menghirup kopi itu saya pasti akan dihantui oleh rasa bersalah: Berapa kilogram bubuk kopi “Kapal Api” yang bisa saya beli dengan uang 50.000 rupiah itu?

Satu lagi tempat minum kopi yang enak saya temukan di Toko Buku “QB” di Jalan Sunda. Disini saya bisa bertemu dengan kawan-kawan penerbit, editor, pedagang buku dan pengarang. Kita diperbolehkan merokok di wilayah toko buku yang menjual kopi ini. Tapi kalau di belakang atau di samping kita ada seorang perempuan asing dan terus mendengus-denguskan hidungnya karena asap rokok kretek yang kita hirup, maka suana minum kopi menjadi terganggu.

Begitulah, karena tidak terlalu banyak pilihan kedai yang menarik dan sesuai dengan kemampuan kantong, maka akhir-akhir ini saya lebih banyak menikmati minum kopi seorang diri di rumah sambil bermain internet.

Kopi kegemaran saya adalah kopi “Kapal Api” yang telah disedu sejak 12 jam yang lalu di dalam mangkok kaleng yang besar. Kopi yang telah bermalam memang selalu terasa nikmat. Tapi yang menjadi masalah: Saya acapkali menemukan cicak yang telah mati di dalam mangkok kopi tersebut.

Saya merindukan kedai kopi seperti yang dahulu menjadi tempat “nongkrong” kakek: Populis, pluralis dan demokratis[.]

6 responses to “Kedai Kopi

  1. Horas!!

    Di Bandung, ada juga satu kedai kopi tempo doeloe seperti yang amang Mula sebutkan diatas.
    Namanya warung kopi Purnama. Tempatnya di jalan alkateri, didekat toko2 penjual kain gordyn dll.

    Suasananya memang persis seperti kedai kopi melayu diatas; dan isinya memang banyak sekali orang2 tua ngobrol-ngobrol. Kebanyakan memang orang tionghoa-berumur yang berdagang di sekitar situ.

    Salam

  2. Hi! Saya tertarik dengan cerita anda tapi rasanya kini bukan mudah menemukan kedai kopi seperti tempat “nongkrong” kakek anda, apatah lagi di S’pura, rasanya adalah impossible…bagi saya ini adalah sebuah negeri yang akan membuat kita yang merokok merasakan diri sebagai seorang criminal 😦

  3. Membaca cerita tentang kedai kopi ini aku jadi kepingin ngopi di Banda Aceh. Katanya, kopi di sana siiip punya. Gosipnya dulu pakai sedikit ganja, sehingga orang ketagihan. Kalau sekarang sih sudah nggak ada. Tapi, katanya warung kopi tersebut tetap ramai dikunjungi. Cuma, jeleknya, pegawai negeri masih nongkrong di sana sampai jam 10. Wah…
    Btw, kalau mau buat sendiri tapi agak premium, bisa dicoba kopi mentah yang dijual di Excelso, lalu dicampur susu segar (diamond atau indomilk). Lalu, kalau mau yang dingin bisa dikocok pakai es batu. Setelah itu, di atasnya bisa dikasih eskrim. Nikmatnya nggak kalah dari Starbuck. Dijamin…

  4. Di pematang siantar sangat terkenal kopi Kok Tung, selalu ramai dan suasananya persis seperti cerita amang Mula. Katanya belum ke Siantar kalau belum minum kopi Kok Tung. Saya coba, saya nggak tahu yang nikmat kopinya atau suasananya. Ah mungkin harus dua duanya….. Btw. Cerita amang Mula ini mirip benar dengan oppung saya, jadi ingat kata kata “baba ni amam”… walaupun kata ini kasar, tapi kalau diucapkan dengan mimik ceria jadi nggak kasar, malah bisa diucapkan ke orang orang dekat yang kita cintai. jadi teringat sama oppungku. mauliate amang Harahap….

  5. Wah, saya baru tau kalau kopi yang bermalam itu enak…. saya akan coba nanti … Kalau di Pematang Siantar tempat minum kopi yang enak di jalan sutomo bang! kedai ‘Sedap’ namanya. Gelasnya persis seperti yang abang bilang tadi mangkok tebal dan buram. Tapi kurasa …… selain kopinya mungkin mangkok yang buram itu yang membuat kopinya jadi enak …..

  6. Apa bener minum kopi itu nikmat? Karena aku memang bukan penggemar kopi. Tapi setiap pagi (setelah bangun tidur) aku selalu buatin kopi ‘tuk bapakku tanpa tau nikmatnya kopi buatanku. Tapi setelah baca cerita ini aku jadi ingin mencoba nikmatnya minum kopi (nanti setelah pulang kerja). Heemm… Oh, ya,aku pernah sih nyoba beli kopi di Excelso. Tau nggak? Rasanya pahit banget. Mungkin salah pilih di daftar menunya, kali. Jadi kapok rasanya…

Leave a reply to anonymous Cancel reply