Hai! Ternyata You Masih Hidup

Oleh: Mula Harahap

Perkenalan saya dengan Menteri Depdiknas (waktu itu P dan K) Fuad Hassan terjadi karena urusan pameran buku. Waktu itu, tahun 1987, saya menjabat Sekretaris Panitia Indonesia Book Fair, mendampingi Arianto T yang menjabat sebagai Ketua Panitia.

Adalah merupakan suatu kebiasaan, dan juga dianggap sebagai suatu prestise, pada waktu itu, kalau hajatan
besar seperti Indonesia Book Fair dibuka oleh Menteri. Tapi karena konflik yang terjadi di tubuh Ikapi, kami mendapat kesulitan untuk berhubungan dengan Menteri dalam kaitan meminta kesediannya membuka pameran. Tampaknya Menteri mendapat informasi yang kurang tepat mengenai eksistensi kami, dan tidak bersedia menerima kami. Karena itu kami mencoba berbagai cara untuk
bertemu Menteri dan menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Kami mencoba mencegatnya dalam sebuah acara di Hotel Borobudur. Kami mencoba datang ke rumahnya. Kami mencoba mengirim surat. Tapi semua tak berhasil.

Akhirnya kami memutuskan bahwa pameran tetap harus berjalan. Dan kalau Menteri tidak bersedia membukanya, maka biarlah pameran itu akan dibuka saja oleh seorang pelukis cilik (saya lupa namanya). Biarlah anak kecil itu yang berpidato dan menggunting pita, sebagai tanda pameran dibuka dengan resmi, di depan kami semua para orang tua.

Bahwa sebuah hajatan bertaraf internasional dibuka oleh seorang anak kecil (dan bukan pejabat) tentu akan menjadi berita dan memberi nilai jual kepada kegiatan kami. Apalagi, waktu itu, kita masih berada dalam masa pemerintahan rezim otoriter Orde Baru. Karena itu promosi pendahuluan mengenai akan adanya kegiatan pameran pun semakin kami gencarkan.

Tapi tiga hari menjelang pameran dibuka, tiba-tiba kami dipanggil oleh Kepala Biro Menteri (Dr. Giri) untuk menghadap ke kantornya.

“Menteri berada dalam posisi yang serba salah,” kata Kepala Biro Menteri. “Dalam satu atau dua hari ini akan ada kegiatan pameran buku yang besar. Kalau Menteri tidak hadir untuk membukanya, sementara ia berada di dalam kota, ini akan mengundang banyak
pertanyaan. Sementara itu, kalau ia hadir, ia juga tidak ingin terlibat dalam konflik yang sedang terjadi di Ikapi. Tolong dulu jelaskan kepada saya, menurut versi kalian, apa sebenarnya yang terjadi, agar saya bisa memberikan rekomendasi kepada Menteri….”

Tentu saja dengan senang hati kami pun menjelaskan apa yang sedang terjadi, yaitu bahwa konflik tersebut bukanlah konflik politik tapi hanya persaingan orang-orang dagang semata. Dr. Giri kelihatan lega, lalu berkata, “Baiklah, saya akan merekomendasikan agar Menteri membuka pameran tersebut.”

Begitulah, akhirnya pameran yang berlangsung di Arena Monas itu dibuka oleh Fuad Hassan. Dan ia merupakan salah satu pameran buku yang dikunjungi oleh banyak sekali orang, sehingga saya masih ingat, fenomena itu diulas dalam Tajuk Rencana Harian Kompas.

Saya ingat juga, setelah membuka pameran, Menteri Fuad Hasan masih lagi menyempatkan diri untuk datang berkunjung pada suatu hari minggu dan menghabiskan waktu selama berjam-jam membolak-balik buku dan berkelakar dengan kami.

Fuad Hassan ternyata adalah pribadi yang hangat dan bersahaja. Ia menganggap kedudukannya sebagai menteri (yang di masa pemerintahan Orde Baru adalah sesuatu yang luarbiasa) sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan dengan tertawa ia berkata kepada kami, “Saya ini diangkat Pak Harto menjadi menteri justeru karena dianggap adalah orang yang tidak bakal membuat
macam-macam di pendidikan, yang bisa membuat masyarakat resah. You tahu? Saya diangkat menjadi menteri ketika kita hendak menyelenggarakan Pemilu dan butuh ketenangan. Karena itu juga you semua jangan terlalu berharap macam-macam dari saya….”

Dalam kesempatan lain yang berkaitan dengan kontroversi buku sejarah ia juga berkelakar. Sambil melihat kiri-kanan dan tersenyum-senyum ia berkata, “Saya harap tidak ada orang lain yang mendengar saya di ruangan ini….Kita ini repot. Yang kita susun sebenarnya adalah history. Tapi, yah mau bagaimana, terpaksa juga kita harus mempertimbangkan his story….”

Karena merasa akrab dengan Fuad Hassan, maka ketika sedang bercengkerama di ruang tamu arena pameran itu, saya berkata kepadanya, “Jas Bapak ini bagus sekali. Tahun depan, sehabis sidang MPR, kalau Bapak tidak terpilih lagi menjadi menteri, berikanlah jas ini kepada saya…” Kebetulan postur tubuh saya hampir sama dengan postur beliau.

“Koq yang diminta jas bekas? Jas baru dong,” kata Fuad Hassan.

“Bapak, saya mau jas yang bekas. Bekas menteri,” kata saya.

Obrolan ngaco tentang jas itu tentu saja menjadi terlupakan sampai beberapa hari kemudian saya mendapat telepon dari pegawai kantor Ikapi.

“Kamu dicari-cari oleh Mas Haryono, Ajudan Menteri,” kata pegawai yang menerima pesan tersebut seraya memberikan sebuah nomor. Saya pun memutar nomor tersebut.

“Mas Mula,” kata suara di ujung sana setelah panggilan tersambung. “Sebentar, ada yang mau berbicara dengan kamu…”

“Mula….!”

“Ya. Siapa ini?”

“Saya Fuad Hassan”.

Lutut saya gemetar. Saya bukan siapa-siapa. Apa dosa saya sehingga seorang menteri ingin berbicara dengan saya?

“Ya, Bapak Menteri,” kata saya. “Ada apa, Pak?”

“You dimana sekarang? Bisa datang nggak dalam setengah jam ini ke kantor saya?”

“Saya ada di Kalipasir, Bapak. Saya akan datang setengah jam lagi…” Lalu saya mencegat taksi dan memintanya membawa saya ke Senayan. Sepanjang perjalanan jantung saya berdebar-debar.

Di depan pintu ruang kerjanya saya disambut langsung oleh Fuad Hassan. Ternyata tidak ada hal penting yang dibicarakan. Kami hanya minum kopi, merokok dan mengobrol ngalor-ngidul selama setengah jam.

Tapi pada akhir pembicaraan, Fuad Hassan berkata, “Eh, you benar mau jas?”

“Bapak, saya hanya bercanda waktu itu. Jangan dianggap serius.”

“Tidak apa. Saya memang mau kasih satu jas untuk you…” Lalu Fuad Hassan membuka sebuah lemari besar yang memenuhi sebuah sisi dinding ruang kerjanya. Di dalamnya tergantung beberapa jas. “Pilihlah satu,” katanya.

Ketika saya hendak meninggalkan ruang kerjanya, sambil mengepit satu stel jas yang dibungkus dengan penutup plastik, tiba-tiba saya teringat sesuatu. Saya tidak membawa kendaraan pribadi. Karena itu bagaimana pula saya harus berjalan kaki menyusuri lobi dan halaman gedung yang luas itu untuk sampai ke pinggir jalan sambil menenteng-nenteng jas? Fuad Hassan mungkin memahami apa yang saya pikirkan. Ia berkata ringan, “Akh, kalau ditanya security katakan saja ini adalah pemberian Menteri. Habis perkara…”

Di dalam taksi, sambil tersenyum-seyum geli, saya membuka ritsleting plastik penutup jas itu. Di kantong kanan sebelah dalam dari jas tersebut ada bordiran nama “Prof. Dr. Fuad Hassan” dan di sisi lainnya ada nama “Jiven Taylor”. Tak pernah saya membayangkan bahwa sebagai seorang editor bacaan anak-anak saya akan memakai jas menteri.

Setelah peristiwa jas dan Indonesia melaksanakan Sidang MPR, ternyata Fuad Hassan masih dipercaya menjadi Menteri P dan K. Dalam beberapa acara yang berkaitan dengan buku saya masih berkesempatan berjumpa dengan beliau. Dan sesekali, kalau acara
sudah tidak terlalu formal, Fuad Hassan datang nyelonong dan berkata, “Rokok you apa? Bagi dulu saya sebatang…..”

Saya terakhir kali berjumpa dengan Fuad Hassan pada tahun 2005, yaitu ketika kami sama-sama menjadi pembicara pada sebuah acara World’s Book Day.

“Hai, ternyata you masih hidup. Kemana saja you selama ini?” tanyanya.

“Saya tidak kemana-mana, Bapak. Masih terus berkutat di urusan buku dan penerbitan yang tak kunjung selesai ini….”

Tadi sore, ketika menerima sms yang sangat mengejutkan tentang kepergian Fuad Hassan, senda-guraunya itulah
yang terngiang-ngiang di telinga saya.

Karena itu juga biarlah saya mengakhiri tulisan ini dengan berkata, “Fuad Hassan, ternyata you juga masih hidup, dan akan terus hidup, dalam hati saya…” [.]

8 responses to “Hai! Ternyata You Masih Hidup

  1. Belum punya website, Bang! Adanya tempat simpan foto-fotoku di picasa. Horas!

  2. Bang Mula, Teimakasih. Cerita ini mengokohkan sosok Pak Fuad bagiku: rendah hati, pintar, berkomitmen tinggi…dan penikmat hidup. Lha ya beliau konon tetap aja merokok, walau harus meninggalkan dunia karena kanker paru-paru yang konon dipacu kebiasaan merokoknya itu.

    Oh ya, boleh tanya dong, jas yang di fotomu itu yang eks Pak Fuad kah?

  3. aaah akhirnya nemu blognya bang mula. saya sangat menikmati tulisan abang, sejak era kwetiau polos dulu

  4. Terima kasih untuk tulisannya tentang Fuad Hassan. Teman-teman alumni FPsi UI sedang mempersiapkan buku MENGENANG FUAD HASSAN, Mohon izin untuk dikutip dan link di http://psik.multiply.com

  5. Singal Sihombing

    Terimakasih bang Mula, saya selalu ingat kata-kata Pak Fuad Hasan, (kapan saya lupa), “Negeri ini tidak memerlukan orang pintar yang malas”.

  6. Ada menteri yang badannya sekecil aku nggak, ya? Siapa tahu jasnya bisa diberikan kepadaku. Ha ha ha…Btw, negeri ini juga tidak memerlukan orang pintar yang k***p… Horas!

  7. Ada juga satu lagi yang penting: Negeri ini tidak memerlukan orang pintar!

  8. Saya pernah ketemu Pak Fuad sewaktu jadi mahasiswa di Universitas Sam Ratulangi Manado. Saya kagum akan keluwesannya berhubungan dengan publik. Nyaris tanpa ada batas formal. Bayangkan saja kalau Mendiknas sekarang seperti beliau?

    Saya bangga pernah bertemu dengan beliau, kenangan pertemuan akan saya terus ceritakan kepada anak-
    anakku turun temurun.

    Christy Manarisip dari Manado, Sulawesi Utara – masih Indonesia

Leave a reply to lucy pandjaitan Cancel reply