Sambar Gledek, Aceh Pungo dan Panggabean Gila Agama

Oleh: Mula Harahap

Bagi anak-anak, orang gila yang bergelandangan di sekitar sekolah tentu merupakan salah satu aspek yang paling sensasional dan menguasai kehidupannya. Orang-orang gila yang bergelandangan di sekitar sekolah selalu membuat hidup tercekam ketakutan dan hati berdebar-debar.

Ketika saya masih duduk di bangku SD, suasana kota Medan belumlah seramai sekarang. Orang-orang miskin dan orang-orang tidak waras, yang bergelandangan di jalan, masih bisa dihitung dengan jari dan dikenal oleh seantero kota.

Saya masih ingat, ketika saya masih di SD , ada seorang wanita kurang waras yang selalu melintas di Jalan Diponegoro. Ia selalu ditemani oleh seekor kera yang bertengger di tengkuknya, seekor kucing dalam kepitan tangan yang satu dan sebuah sapu lidi dalam kepitan tangan yang lain.

Kalau wanita itu melintas di depan sekolah pada saat “jam keluar main”, maka anak-anak yang lebih besar dan “pemberani” biasanya akan berteriak, “Sambaaar Geledeeek!” Tentu saja perempuan itu menjadi marah dan berusaha mengejar anak yang mengganggunya. Lalu
anak-anak yang lain akan memekik-mekik dan berlari tunggang-langgang ke berbagai penjuru. Tapi drama tersebut hanya berlangsung selama beberapa menit, karena akan ada saja pejalan kaki yang sedang melintas, yang menegur, mendamprat dan membubarkan kerumunan anak-anak itu.

Orang gila lainnya yang selalu menjadi sasaran keisengan anak-anak ialah seorang perempuan setengah baya, berbaju daster dan selalu berjalan cepat dengan mulut komat-kamit.

Oleh anak-anak pada masa itu ia dipanggil dengan nama “Aceh Pungo”. Dan kalau ia mendengar panggilan tersebut, maka ia akan marah sekali, mengeluarkan segala sumpah-serapah serta melempar siapa saja yang ada di depannya dengan batu.

Orang gila lainnya yang terkenal di sekolah kami dan di seantero Medan pada waktu itu ialah seorang lelaki yang berambut panjang sebahu, memakai jubah putih dan membawa tongkat panjang. Ia selalu berkhotbah dan meminta orang agar bertobat karena tiga hari lagi dunia akan kiamat. Lelaki ini senang mengidentifikasikan dirinya dengan figur Kristus Yesus.

Kami menjuluki lelaki ini sebagai “Panggabean Gila Agama”. Saya tidak tahu, apakah lelaki yang beraksen Batak ini memang benar bermarga Panggabean.

Panggabean tidak menyeramkan. Walau pun diganggu dengan cara bagaimana, ia tidak pernah marah dan terus saja berceloteh mengutip ayat-ayat Alkitab. Kadang-kadang, kalau pagar sekolah terbuka dan banyak anak di halaman, maka dengan serta-merta ia akan masuk
dam berkhotbah. Peristiwa ini selalu menjadi atraksi yang paling menggemparkan pada hari itu. Tapi biasanya peristiwa ini juga tidak akan berlangsung lama; karena salah seorang guru akan datang dan meminta dengan baik-baik agar Panggabean menjauh. Dan ia selalu menuruti permintaan tersebut dengan patuh.

Setelah hijrah ke Jakarta, maka dengan alasan agar kelihatan lebih gagah dan berwibawa, saya memelihara kumis, janggut dan rambut panjang. Dan sampai sekarang pun saya masih mempertahankan penampilan tersebut. Adik saya, Elisabeth, selalu mengganggu saya di depan
anak-anak saya. Katanya, “Bapamu ini mirip sekali dengan Panggabean Gila Agama yang selalu datang ke sekolah namboru dahulu….”

Orang gila lainnya yang terkenal di seantero Medan pada waktu itu ialah “Kapten Nasution”. Ia selalu bergelandangan dengan ditemani oleh isterinya yang keturunan Eropa dan putera-puterinya yang berambut pirang dan berkulit putih. Ada yang mengatakan bahwa dahulu Nasution memang seorang kapten kapal. Tapi tidak ada yang tahu, mengapa ia dan anak-isterinya memilih cara hidup yang demikian. Kapten Nasution juga memelihara kumis, janggut dan rambut yang panjang.

Adik saya, Daniel, yang sekarang berprofesi sebagai pendeta juga memelihara kumis, janggut dan rambut yang relatif panjang. Kemudian, putera-puterinya juga berambut pirang dan berkulit putih. Kalau kami kakak-beradik bertemu, kami selalu menggodanya dan mengatakan, “Kapten Nasution dan anak-anaknya sudah datang…” [.]

13 responses to “Sambar Gledek, Aceh Pungo dan Panggabean Gila Agama

  1. Sebenarnya rambut Tulang ini kalau di Medan lebih dikenal dengan Gonjes, singkatan dari (maaf) Gondrong Jesus.

  2. JanPieter Siahaan

    Aku ingat, Bang. Panggabean yang gila ini memang marga Panggabean. Rumahnya di Gang Sado atau Tempuling sekarang. Kalau dari Rumah Sakit Pirngadi Medan atau Jalan Serdang, ( dari arah universitas HKBP Nomensen ) ke arah pasar Bengkok atau Tembung, maka di Gang Sado belok kiri. Dan rumahnya kalau nggak lupa di Jalan Rela atau Pardamean. Yah itu kira-kira tahun 70-an saya ingat. Jadi ingat juga nih pengalaman saya dulu. Ada lagi di daerah kami, namanya Anto Paok….Suka kali dia ikut di depan ngantar orang mati ke kuburan… Wuah, banyak cerita nih jadinya.

  3. Horas ! Saya juga anak Medan, saya juga tau tentang cerita Panggabean itu.

    Tapi ngomong-ngomong lucu kalilah cerita amang ini. Senyum senyum awak jadinya. Kok bisa jadi mirip antara yang diceritakan dengan yang menceritakan serta adiknya ?

    Hehehehehe ………..

  4. Ada juga Panggabean yang gila…..

  5. JanPieter Siahaan

    Wuah… jadi nggak enak saya kirim koment, satabi tu angka dongan yang merasa ndang nyaman tentang Panggabean, maaf yah.. bos.. nggak ada maksud menjelek-jelekkan, hanya ingatan aja jaman dulu dan pengertian umum, ada lagi yang saya ingat di Medan dulu namanya Alan Tidin.. nggak tahu di mana sekarang. kalau marga Alan Tidin saya nggak tahu ( orang Batak atau bukan yah ?)

  6. Orang gila jaman dulu mungkin berbeda dengan orang gila jaman ini (saat ini). Dulu memang gila benaran, saat gila-gilaan, dan sangat banyak.

  7. Amang… sudah satu tahun saya berdomisili di medan, ternyata memang benar, Medan itu kota gila… bener bener gila, nggak ada aturan. jadi, bukan hanya si “Panggabean” dan si “Pungo” lagi yang gila di Medan, tapi lalu lintasnya…. gile beneeeer, amburadul.

  8. Akh, penulisnya lebih gila lagi karena hanya ingin menceritakan yang gila…..Tidak ada lagi cerita yang informatif…..Heee…….Anehnya ada juga orang yang mengiakan “benar, bang…dst”. Dasar orang gila di blog ini….

  9. Buset! Orang gila menulis orang gila. Ya, ialah. Masa orang waras menceritakan orang gila… Pastilah penulis ini juga gila. Haaahaaaaa. Aneh…… Selamat bergila. Tampangnya juga mirip. Heeeee.

  10. donwill panggabean

    Nyuwun sewu. Boleh saya tau apa motivasi di balik tulisan tentang panggabean di atas? Kalo boleh, saya ingatkan kembali pikiran si penulis. Di bawah ini saya copy: “Categories: Kehidupan Diri Sendiri”. “Tagged: kenangan masa kecil, kisah keluarga, memoar”.

    So..apa relevansinya antara tulisan tersebut dengan kehidupan diri sendiri (si penulis), kenangan masa kecil (si penulis), kisah keluarga (si penulis), dan memoar (si penulis) ?

    Apakah: yang gila itu adalah kehidupan diri sendiri (si penulis) ? Atau: yang gila itu adalah kenangan masa kecil (si penulis)? Atau: yang gila itu adalah memoar (si penulis).

    Hmm… pendapat saya: yang sebenarnya gila adalah seseorang yang mengatakan orang lain gila!

    Saya hanya mau menulis jujur tentang sepotong kehdupan yang pernah saya persepsikan dari kacamata kanak-kanak saya.

  11. riony firza harahap

    Cerita orang gila ‘gak perlu diceritakan lagi, karena itu akan membuat sebagian orang tersinggung, salah satunya keluarga yang diceritain. Jadi, jangan di bahas lagi, ya, Uda. Kasian sama mereka…..

  12. Gua suka ceritanya. Tapi tolong jangan menceritakan kejelekan orang, dan saya rassa cerita ini lebih baik tidak di-publish lagi karena seandainya yang gila itu anda bagaimana perasaan anda jikalau kejelekan itu disebut sebut sedunia antero. Cukup menyakitkan. Ini hanya saran harap jangan dimasukkan ke dalam hati,

    Saya hanya mencoba menceritakan tentang dunia sekitar yang dulu pernah saya persepsikan dari kacamata anak-anak saya.

  13. Amang, janganlah kita menceritakan kegilaan marga lain, ibarat kata mamadabu ditimpa tangga pula.
    saya rasa tidak etis amang bercerita di blog ini yang lain-lain sajalah amang diceritakan biar seru.

    Itu dunia yang saya lihat dari kacamata saya ketika masih anak-anak. Kalau anda baca baik-baik, tidak ada maksud saya untuk merendahkan orang. Dan kalau anda adalah orang yang sejaman dengan saya, dan hidup di Medan pada masa itu, maka saya rasa cerita ini akan ditanggapi dengan wajar-wajar saja.

Leave a reply to heryazwan Cancel reply