Editing Naskah Buku Umum Non-Fiksi

Oleh: Mula Harahap

Topik pelatihan yang diberikan kepada saya adalah “Editing Naskah Buku Umum Non-Fiksi”. Tapi di dalam kerangka acuan penyelenggaraan pelatihan ini tujuan yang diharapkan dari pelatihan dinyatakan: “Untuk meningkatkan kemampuan meracik naskah yang baik dan benar dari mulai ide/gagasan sampai siap cetak, termasuk menggagas buku sesuai target pembaca.”

Oleh karena itu saya ingin judul pelatihan ini dibaca sebagai: “Editing Buku Umum Non-Fiksi”. Saya pikir editing—terutama pada masa sekarang—memang tidak lagi bermula setelah naskah selesai ditulis oleh pengarang. Editing bahkan telah dimulai jauh sebelum gagasan tentang penulisan sebuah buku itu ada benak pengarang.

Berdasarkan pemahaman editing sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka saya ingin memulai pembahasan ini dengan menguraikan bermacam-macam fungsi atau pekerjaan di dalam perusahaan penerbitan buku yang perlu diljalankan oleh seorang editor demi untuk menghadirkan buku yang baik mutunya, mememenuhi kebutuhan kelompok pembaca yang menjadi sasarannya, terbit tepat waktu, diproduksi dengan seefisien mungkin, dan—akhirnya—memberi keuntungan finansil bagi perusahaan.

Fungsi-fungsi tersebut mungkin sudah kita ketahui, atau sudah sering kita dengar diperbincangkan dalam berbagai pelatihan editor. Tapi untuk pembahasan topik pelatihan ini, yaitu “Editing Buku Umum-Non Fiksi”, baiklah kita mengulangi kembali fungsi-fungsi tersebut seraya meninjaunya dari aspek penerbitan buku umum non-fiksi terutama dalam konteks perbukuan Indonesia.

Menetapkan strategi terbitan

Menurut perkiraan setiap tahunnya kini para penerbit Indonesia mengeluarkan kira-kira 12 ribu judul buku baru dalam setahun. Memang jumlah ini masih jauh bila dibandingkan dengan para penerbit di AS yang mengeluarkan 100 ribu judul buku baru dalam setahun, atau para penerbit di Jepang yang mengeluarkan 60 ribu judul buku baru dalam setahun. Tapi bila dikaitkan dengan faktor daya beli yang masih rendah, minat masyarakat terhadap buku yang masih rendah, jumlah toko pengecer yang rendah, dan jumlah penerbit yang sangat tinggi, maka angka ini sudah relatif tinggi.

Kini setiap penerbit harus memutar otak untuk bisa berhasil meloloskan bukunya sampai ke toko pengecer, mengusahakan agar buku itu bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama di rak toko pengecer, dan merayu pengunjung toko agar mau menyentuh dan membeli buku tersebut

Di dalam suasana persaingan seperti tersebut di atas maka sangat sulit bagi penerbit untuk bisa berhasil menerbitkan buku apa saja. Apalagi kalau penerbit itu menggarap semua bidang terbitan. Hal ini juga semakin dipersulit oleh mahalnya biaya promosi. Kini buku lebih banyak mengandalkan “nasib”-nya untuk dilirik orang di rak toko. Oleh karena itu perlu bagi penerbit untuk memiliki spesialisasi bidang terbitan. Atau kalau penerbit itu adalah sebuah penerbit besar, ia perlu membangun berbagai lini produk—yang juga didasarkan atas bidang terbitan–untuk membuat calon pembeli lebih mudah mengingat siapa menerbitkan apa.

Lini produk juga sangat berguna untuk mengasah spesialisasi para editor yang mengasuh lini produk tersebut, dan untuk memberikan arah kepada calon pengarang tentang penerbit mana yang harus ditujunya seandainya ia mempunyai naskah.

Tugas untuk menetapkan strategi terbitan, membangun lini produk, dan mengontrol para editor yang mengasuh lini produk tersebut, dilakukan oleh chief editor.

Tentu saja strategi terbitan tidak semata-mata diputuskan sendiri oleh chief editor. Strategi tersebut diputuskannya setelah mendengar saran-saran kepala bagian promosi, kepala bagian pemasaran, dan para editor senior.

Mencari Naskah

Setelah strategi terbitan, lini produk, dan editor yang bertanggung jawab atas setiap lini produk itu ditetapkan maka naskah harus dicari.

Dahulu ketika jumlah penerbit masih relatif sedikit, maka penerbit masih sering mendapat naskah yang baik, yang sesuai dengan strategi terbitannya, dan yang tidak membutuhkan lagi terlalu banyak perbaikan dari para pengarang.

Tapi kini jumlah penerbit sudah sangat banyak, dan keharusan setiap penerbit untuk sebanyak mungkin menerbitkan buku baru sudah semakin tinggi. Oleh karena itu kemungkinan sebuah naskah yang baik untuk datang sendiri ke penerbit sudah semakin kecil.

Kini penerbit harus mencari naskah. Dan ada berbagai cara untuk mendapatkan naskah. Penerbit bisa menelepon atau menyurati seseorang yang dianggap memiliki potensi agar mau menulis buku sebagaimana yang diinginkan oleh penerbit. Tapi sekedar undangan tidaklah akan serta merta membuat seseorang mau menulis. Atau kalau pun dia mau menulis, maka naskah yang diberikannya itu belum tentu sesuai benar dengan keinginan penerbit.

Kemudian dalam kaitan dengan buku non-fiksi, maka kita juga perlu mengingat bahwa tidak terlalu banyak orang yang menguasai sebuah bidang kehidupan yang mampu menulis dengan baik. Oleh karena itu penerbit masakini harus juga membantu mendiskusikan sebuah gagasan dengan penulis, membicarakan bagaimana gagasan itu disajikan, dan mendorong serta mengawasi penulis dalam proses penulisan.

Tugas mengundang, memotivasi, mendorong dan membimbing penulis dalam menyelesaikan sebuah naskah dilakukan oleh editor senior atau yang dikenal juga sebagai acquisition editor.

Tentu saja disamping upaya-upaya seperti yang telah diuraikan di atas, maka naskah juga bisa dicari lewat penerjemahan, atau dengan melihat-lihat buku terbitan lama yang sudah out of print.

Kadang-kadang—disebabkan oleh satu dan lain hal—ada saja buku yang tidak mengalami sukses ketika diterbitkan pada suatu masa. Tapi kemudian ketika buku itu diterbitkan kembali oleh penerbit yang lain—dan setelah mendapat sentuhan desain, penempatan dalam lini produk yang sesuai, promosi yang tepat dsb—dia mengalami keberhasilan. Di Indonesia hal ini, yaitu menerbitkan ulang buku-buku lama, memang belum menjadi sebuah tradisi. Tapi mengingat pendeknya usia buku di pemasaran, dan cepatnya berganti generasi pembaca, maka upaya untuk menerbitkan buku-buku lama perlu juga menjadi perhatian para editor senior atau acquisition editor.

Dalam kaitan dengan merangsang seseorang untuk menulis, maka saya ingin juga memperkenalkan beberapa bentuk penyajian buku.

Buku—terutama buku umum non fiksi–tidak selalu harus ditulis dengan cara yang runut dan linier, yaitu dengan pembagian bab, sub bab dst. Banyak buku yang ditulis sebagai kumpulan ulasan dari topik-topik yang satu sama lainnya tidak saling berkaitan, kecuali hanya diikat oleh sebuah benang merah yang menjadi topik utama atau judul buku tersebut. Dan bentuk penyajiannya pun bermacam-macam. Dia bisa merupakan uraian, surat, catatan harian, tanya-jawab dsb.

Kita banyak menemukan buku-buku seperti tersebut di atas dalam penerbitan di AS dan Eropa. Demikianlah, maka ada buku yang berjudul “100 Gagasan PR bagi Perusahaan Anda”, “101 Kiat Pemasaran”, “Tanya Jawab Lengkap tentang Kehamilan”, “Surat-surat Ilona”, “Catatan Harian Soe Hok Gie”, dsb.

Mengedit Naskah Secara Garis Besar

Naskah yang datang dengan sendirinya dari penulis, atau naskah yang ditulis oleh penulis dengan bimbingan editor, acapkali masih “kasar”. Naskah itu mungkin masih memiliki banyak pengulangan, mungkin ada uraian yang letaknya kurang tepat, atau mungkin ada aline-aline yang musti ditambahkan. Oleh karena itu naskah tersebut masih perlu dikoreksi secara garis besar. Dan inilah pekerjaan “manuscript editor”.

Sebaiknya perbaikan itu dilakukan sendiri oleh penulis. Editor cukuplah hanya memberi tanda dan catatan. Tapi kita bisa memaklumi bahwa acapkali hal tersebut menjadi tidak praktis. Alih-alih memperoleh perbaikan sebagaimana yang diinginkan, penerbit acapkali memperoleh perbaikan yang lebih “parah”. Oleh karena itu editor cenderung melakukan perbaikan sendiri. Tapi apapun yang terjadi, hendaklah perbaikan itu disetujui oleh penulis.

Adakalanya juga penulisan sebuah naskah sedemikian “parahnya” sehingga memerlukan perbaikan yang sangat banyak. Dalam banyak kasus hal ini sering diserahkan menjadi tanggung jawab copy editor. Tapi saya berpendapat ini bukanlah pekerjaan copy editor. Ini adalah sebuah penulisan ulang. Oleh karena itu—kalau anggaran memang mengizinkan dan demi efisiensi—sebaiknya naskah ini diberikan kepada orang luar untuk mengalami penulisan ulang.

Melakukan copy editing

Naskah yang telah mengalami perbaikan secara garis besar itu tentu masih perlu mengalami perbaikan yang lebih menditil. Tata bahasa dan penulisan kata-katanya harus disesuaikan dengan kaidah yang berlaku.. Fakta dan data harus dijaga konsistensinya. Inilah yang dilakukan oleh copy editor.

Mengkoordinasi Pekerjaan Copy Editing, Setting, Desain Isi serta Sampul dan Pencetakan.

Setelah naskah mengalami copy editing maka dia masih harus didesain, disetting, diberi ilustrasi (bilamana perlu), dibuatkan desain sampulnya dsb. Ini adalah sebuah pekerjaan yang rumit dan memerlukan perhatian khusus. Apalagi pekerjaan ini acapkali harus melibatkan tenaga luar. Di beberapa perusahaan penerbitan ada orang yang khusus diberi tugas untuk hal tersebut. Inilah yang disebut sebagai managing editor atau editor produksi.

Catatan Tambahan:

1, Persaingan dalam penerbitan buku umum non-fiksi dewasa ini sedemikian tingginya. Setiap topik—terutama yang popular—akan selalu diserbu oleh begitu banyak buku. Oleh karena itu para editor haruslah selalu rajin mengamati buku—baik terbitan Indonesia maupun asing–yang beredar di pasar untuk mencari peluang topik yang lebih baru dan penyajian yang lebih baru pula.

2. Persoalan hidup manusia sebenarnya sangat beragam. Oleh karena itu kebutuhan akan buku juga sebenarnya sangat beragam. Dituntut kepekaan dan kreativitas yang tinggi dari para editor untuk bisa merumuskan kelompok masyarakat yang membutuhkan jenis buku tertentu itu. Kalau masyarakat terkesan tidak membeli buku, maka salah satu penyebabnya barangkali adalah bahwa mereka memang tidak menemukan buku yang dianggapnya sebagai jawaban atas persoalan kehidupannya.

3. Walaupun harus bertanggung jawab terhadap sebuah bidang terbitan non-fiksi yang sangat khusus, tapi editor tidaklah harus seorang yang ahli di dalam bidang tersebut. Editor buku (buku umum non-fiksi) manajemen tidak harus seorang ahli manajemen. Demikian pula, editor buku (buku umum non-fiksi) psikologi harus seorang ahli psikologi. Hal yang dituntut dari seorang editor hanyalah kemampuan untuk berpikir runut dan logis, memiliki pengetahuan umum yang luas, memiliki citarasa bahasa yang tinggi, dan memiliki kepekaan terhadap pikiran dan perasaan calon pembaca bukunya. Seandainya pun sebuah naskah membutuhkan penilaian atas topik bahasannya, maka editor bisa menanyakan pendapat seorang ahli.

4. Editor adalah orang yang bekerja di belakang layer. Dalam penerbitan sebuah buku bahkan berlaku tradisi untuk tidak mencantumkan nama editor. Bahkan kalau sebuah buku—yang notabene merupakan gagasan editor—mengalami keberhasilan, editor tidak ikut menikmati royalti sebagaimana yang dinikmati pengarang. Namun demikian editor adalah sebuah profesi yang menyenangkan.

5. Sering dikatakan orang, bahwa editor dalam penerbitan buku itu sama fungsinya dengan sutradara dalam pembuatan filem. Dialah dirigen yang mengorkestrasi berbagai pekerjaan—termasuk pekerjaan—di luar editing, yang dibutuhkan untuk keberhasilan penerbitan sebuah buku. Editor tidak boleh terpaku hanya pada urusan memperbaiki naskah.

6. Editor adalah penengah antara kepentingan penulis dan perusahaan penerbit tempatnya bekerja. Dia adalah seorang juru runding.

Penutup:

Setiap perusahaan penerbitan tentu membangun organisasinya berdasarkan ketersediaan tenaga yang ada, atau yang dalam waktu dekat diperkirakan akan ada,. Oleh karena itu fungsi-fungsi sebagaimana yang tersebut di atas ada yang memang ditangani oleh orang-orang yang khusus, tapi ada juga yang dirangkap oleh satu orang. Tapi apa pun pengaturan yang terjadi, hendaklah itu dilakukan demi untuk menghasilkan buku yang baik mutunya, mememenuhi kebutuhan kelompok pembaca yang menjadi sasarannya, terbit tepat waktu, diproduksi dengan seefisien mungkin, dan—akhirnya—memberi keuntungan finansil bagi perusahaan [.]

Catatan:
Tulisan ini tadinya adalag pengantar untuk pelatihan editor yang diselenggarakan oleh IKAPI DKI Jakarta pada haru Sabtu, 15 Mei 2010, di Jakarta

One response to “Editing Naskah Buku Umum Non-Fiksi

  1. Pak Mula Harahap, terima kasih untuk dukungan terhadap festival ini. Semoga makin banyak muncul penulis Kristen yang berkualitas.

Leave a comment