Saya sih mau bolpen, bukan mau Yesus….

Oleh: Mula Harahap

Peristiwa yang akan saya ceritakan berikut ini sudah lama sekali berlalu. Tapi kalau mengenangnya saya selalu tersenyum-senyum:

Suatu sore saya diminta oleh kedua anak saya untuk mengantarkan mereka ke gereja guna mengikuti sebuah acara mendadak. Malamnya, ketika menurut perhitungan saya acara itu telah berakhir, saya kembali ke gereja untuk menjemput.

Ternyata acara yang berlangsung di Gedung Pertemuan Lantai 2 itu belum selesai. Tapi yang menarik perhatian saya ialah bahwa saya melihat anak lelaki saya sedang duduk seorang diri di lantai bawah dengan raut muka yang sangat “suntuk”.

“Lha, mengapa kau tidak ikut bergabung di atas, Amang?” tanya saya.

“Akh, kagak, deh. Kagak, deh….,” katanya dengan ketus.

“Lha, kenapa?”

“Mereka pakai acara nangis-nangis sambil mengaku menerima Yesus. Kagak kena deh itu sama saya….”

Kepada anak lelaki itu tentu saja saya tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi di dalam hati saya tersenyum sambil bekata, “That’s my boy….”

Lalu saya bergegas naik ke lantai 2. Keterangan anak lelaki saya itu membuat saya “curious”. Belum pernah saya mendengar ada acara pembinaan yang model demikian di gereja kami.

Ketika saya melongok ke atas saya melihat lampu di ruangan itu dimatikan. Semua remaja duduk di keremangan sambil memegang kertas dan bolpen mendengarkan seseorang yang berkata-kata di depan. Di antara anak-anak yang sedang duduk tekun mendengarkan itu ada anak perempuan saya.

Saya buru-buru turun mencari Pak Pendeta. Kemudian saya ajak Pak Pendeta untuk melihat apa yang tejadi. Pak Pendeta terkejut. “Wuah, wuah kita kecolongan…,” katanya. Rupanya telah terjadi “miss-communication” dengan Seksi Remaja, sehingga mereka bisa mengundang pembicara dari luar tanpa sepengetahuan otoritas gereja. Namun karena acara tersebut sudah “kepalang” berjalan Pak Pendeta memutuskan untuk membiarkannya saja. Nantilah, setelah selesai acara, Seksi Remaja akan diajak bicara.

Dalam perjalanan pulang saya dan kedua anak saya masih membicarakan acara tersebut di mobil. Rupanya anak-anak itu memang diminta untuk mengisi sebuah kertas yang berisi pernyataan bahwa dia menerima Yesus dan yang harus dilengkapi dengan nama dan alamat.

“Lalu, apakah kau ikut mengisi kertas itu?” tanya saya kepada anak perempuan saya.

“Ikut, dong,” sahut anak perempuan saya dengan mantap. “Soalnya, kata Kakak Pembina, siapa yang sudah mengisi formulir dia boleh mengambil bolpennya. Saya sih mau bolpen….”

Saya tertawa dalam hati sambil berkata, “That’s my girl….” Anak-anak saya masih “normal”. Tak bisa saya bayangkan bagaimana perasaan saya kalau saja anak perempuan yang masih ingusan itu mengatakan dengan mantapnya, “Saya sih mau Yesus….” [.]

One response to “Saya sih mau bolpen, bukan mau Yesus….

  1. Kalau saya sih tentunya pilih keduanya, Pak, sebab saya butuh pulpen untuk menulis utang saya di warung yang belum kebayar dan saya juga butuh Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat pribadi saya. Dia yang sudah menghapus segala utang dosa saya. Siapa lagi dong yang akan menyelamatkan saya dari segala dosa? Apa intelijen Tentunya bukan!

Leave a comment