Tentang Travel Writing, Tulisan Kisah Perjalanan, atau Sastra Perjalanan

Oleh:Mula Harahap

Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca (saya kurang ingat, apakah di majalah Newsweek atau Time) sebuah tulisan mengenai V.S. Naipaul dan proses kreatifnya. Penulis atau wartawan majalah tersebut bertanya mengapa akhir-akhir ini V.S.Naipaul lebih banyak menulis kisah perjalanan ketimbang novel.

Jawaban V.S.Naipaul (kalau saya juga tak salah ingat) kira-kira begini,”Dulu disebabkan oleh keterbatasan transportasi dan kurangnya kesempatan untuk bepergian kemana-mana, maka seorang penulis harus menciptakan cerita sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya. Tapi kini keadaan sudah berbeda. Seorang penulis sudah bisa dengan mudahnya bepergian ke berbagai tempat, menemui berbagai orang, dan menyaksikan berbagai kejadian. Seorang penulis sudah bisa memungut cerita yang dijumpainya dalam perjalanannya, dan memakainya sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaannya kepada pembaca. Dan dalam situasi yang seperti itu, untuk apa lagi seorang penulis harus selalu menulis novel?”

Untuk keperluan penulisan catatan pengantar diskusi ini saya berusaha mencari tulisan tersebut di atas melalui mesin pencari Google, Yahoo dsb, tapi tak berhasil. Namun secara tidak sengaja saya menemukan tulisan V.S.Naipaul dalam pendahuluan bukunya “Beyond Belief”. Semangat dari apa yang dikatakan oleh V.S. Naipaul dalam tulisan di majalah tersebut hampir sama dengan yang ada di dalam pengantar bukunya:

“Saya memulai karir di dunia kepenulisan sebagai penulis fiksi, atau sebagai manajer narasi. Pada waktu itu, saya pikir, itulah puncak kepenulisan. Tapi kira-kira 40 tahun yang lalu saya diminta untuk melakukan perjalanan ke beberapa negara bekas koloni Eropa di Amerika Selatan serta Karibia, dan diminta menulis buku tentang perjalanan tersebut. Tapi waktu itu saya sebenarnya tidak tahu buku seperti apa yang harus saya tulis. Karena itu yang saya tulis hanyalah riwayat hidup orang-orang dan pemandangan yang saya jumpai. Barulah beberapa tahun terakhir ini saya menyadari bahwa hal yang paling penting dari sebuah perjalanan, di mata seorang penulis, justeru adalah orang-orang yang dijumpainya di sekitarnya.

“Jadi di dalam buku kisah perjalanan atau eksplorasi kebudayaan yang saya lakukan ini, penulis–sebagai pengelana—harus berdiri beberapa langkah di belakang. Orang-orang di negeri yang saya kunjungi itulah yang harus berada di depan. Dan dalam situasi seperti ini maka sebenarnya saya telah kembali ke fungsi yang dulu saya lakukan sebagai penulis fiksi, yaitu sebagai manajer narasi. Dulu pada abad ke-19 cerita rekaan biasa dipakai untuk melakukan hal-hal yang tidak mudah untuk dilakukan oleh bentuk-bentuk kesusastraan lainnya seperti sajak atau esai, yaitu menyampaikan kabar tentang sebuah masyarakat yang berubah, atau menggambarkan sebuah situasi kejiwaan. Karena itu saya sering merasa geli: ternyata bentuk kisah perjalanan—sesuatu yang dulu tak pernah sedikitpun terpikir oleh saya—telah membuat saya kembali ke posisi semula, yaitu mencari cerita. Tapi cerita itu tentu saja tidak boleh lagi direka-reka atau dipaksakan, sebab dia bisa membuyarkan point yang ingin saya sampaikan di dalam sebuah buku. Cerita-cerita yang saya jumpai itu sudah cukup kompleks. Sebenarnya itu jugalah yang menjadi point dari buku kisah perjalanan saya. Dan sebaiknya memang pembaca jangan mencari sebuah kesimpulan di dalam buku kisah perjalanan.”

Berangkat dari pemahaman yang digambarkan oleh V.S Naipaul seperti tersebut di atas, maka saya lebih suka menerjemahkan “travel writing”—topik diskusi kita pagi ini—menjadi “tulisan kisah perjalanan” atau “sastra perjalanan”. Memang saya tidak memungkiri bahwa ada juga “travel writing” yang membahas hal-hal permukaan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh penulis; bagaimana lezatnya keju Perancis, bagaimana dinginnya Pegunungan Alpen, atau bagaimana riuh-rendahnya orang-orang yang berseliweran di Fifth Avenue-New York. Pembaca—terutama mereka yang belum berkesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut—tentu ingin juga mengetahui bagaimana “rasa” keju Perancis, dinginnya Pegunungan Alpen atau hiruk-pikuknya Fifth Avenue. Tapi “travel writing” yang baik (tepatnya, sastra perjalanan) seyogianya menawarkan kepada kita lebih dari sekedar deretan kesan. Dalam sastra perjalanan seyogianya kita juga harus bisa menemukan cerita (yang dilakoni oleh si penulis dan orang-orang yang dijumpainya), pikiran dan perasaan dari tokoh-tokoh tersebut, dan sebuah gagasan besar tentang kehidupan yang ingin disampaikan oleh si penulis. (Disamping hal yang saya uraikan di atas, maka kalau travel writing hanya berisikan hal-hal “permukaan” yang dilihat oleh si penulis, fungsi itu kini bisa dijalankan secara lebih baik oleh televisi, misalnya saluran Discovery Travel).

Saya harus mengaku secara terus-terang bahwa saya memang belum pernah membaca buku travel writing karya Hari Kunzru. Tapi saya suka membaca buku travel writing, dan ada beberapa yang sangat berkesan bagi saya, dan yang kiranya bisa saya beberkan di sini untuk lebih menjelaskan apa yang masudkan (dan harapkan) dari sebuah travel writing.

Buku “A Malaysian Journey” yang ditulis oleh Rehman Rashid bagi saya adalah satu buku travel writing atau sastra perjalanan yang baik, yang perah saya baca, karena dia berhasil memukau saya, membuat saya betah duduk selama beberapa jam, dan akhirnya bisa merasa dan memikirkan sesuatu yang juga sedang dipergumulkan oleh orang Malaysia. (Paling tidak oleh penulis buku itu sendiri).

Si penulis—Rehman Rashid–bercerita tentang perjalanan yang dilakukannya secara estafet mengunjungi beberapa negara bagian dan kota di Semenanjung Malaysia.

Rehman Rashid menguraikan kisah perjalanannya secara berselang-seling. Mula-mula dia menggambarkan pengalamannya dalam perjalanan dari satu kota ke kota yang berikut. Kemudian dia menggambarkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya ketika mengunjungi kota yang berikut itu. Kemudian dia mengisahkan tentang hidupnya sendiri dalam kaitan dengan kota itu. Setelah itu kisah dimulai lagi oleh si penulis dengan menggambarkan pengalamannya dalam perjalanan dari kota itu ke kota yang berikutnya lagi. Kemudian dia menggambarkan lagi apa yang dipikirkan dan dirasakannya ketika mengunujungi kota yang berikutnya lagi itu. Begitulah si penulis menjalin kisah perjalanannya. Dan tentu saja oleh si penulis semua kisah itu diletakkan di atas sebuah “kanvas besar gagasan” tentang proses pembentukan sebuah nation-state bernama Malaysia, dan dimana tempat seorang anak manusia yang bernama Rehman Rashid dalam proses tersebut.

Buku travel writing lain yang pernah saya baca, yang membuat saya terkesan, dan jadi berpikir-pikir terus tentang pikiran dan perasaan yang disampaikan oleh penulisnya adalah karya-karya V.S. Naipaul (“India-A Wounded Civilization”, “Among The Believers” dan “Beyond Belief”).

Di dalam “Beyond Belief” V.S. Naipaul bercerita tentang berbagai peristiwa dan manusia yang dijumpainya dalam perjalanan yang dilakukannya ketika mengunjungi sejumlah negara-negara non-Arab, yang penduduknya mayoritas beragama Islam yaitu Indonesia, Iran,, Pakistan dan Malaysia. Ada pun tema atau “kanvas besar gagasan” yang dipakai oleh V.S. Naipaul dalam menorehkan warna dan garis ceritanya adalah: Bagaimana orang-orang Islam yang bukan Arab, dan yang hidup jauh dari Timur Tengah, mempraktekkan sebuah agama yang berasal dari Arab.

Sebagaimana halnya sebuah karya sastra yang baik, maka “Beyond Belief” juga penuh dengan narasi dan percakapan. Di sana-sini kita juga akan menjumpai dskripsi si penulis tentang sebuah sosok, tempat atau suasana sehingga membuat kita ikut larut. Misalnya tentang situasi kantor Abdurrahman Wahid, penulis mendeskripsikannya seperti berikut: “Kami bertemu di Gedung NU. Kantornya berada di lantai dasar dari sebuah bangunan tua yang terletak di pinggir sebuah jalan yang sangat ramai. Halaman depannya sengaja dikosongkan untuk parkir beberapa mobil. Kantor itu—sungguh berbeda dengan kantor Adi Sasono—tak ubahnya seperti ruang tunggu stasiun kereta api, penuh dengan perabotan tua berwarna gelap dan yang politurnya disana-sini sudah mengelupas.” (Sebagaimana halnya sebuah karya sastra, penulis tak cukup hanya menyebutkan “Kantor Abdurrahman Wahid”. Tapi dia merasa perlu juga membagikan kepada kita bagaimana rupa dan “rasa” kantor itu).

Travel writing atau sastra perjalanan adalah sebuah bentuk penulisan kreatif. Karena itu—sebagaimana layaknya pilihan atas warna dan garis di sebuah kanvas lukisan—maka pilihan atas cerita, narasi dan percakapan dalam travel writing tentu saja sepenuhnya tergantung pada tema atau gagasan besar yang hendak disampaikan oleh si penulis. Orang boleh saja mengatakan bahwa pilihan cerita, narasi atau percakapan yang dilakukan oleh V.S Naipaul dalam “Beyond Belief” sangat subyektif. Tapi travel writing memang bukan tulisan ilmiah. Dia adalah sebuah tulisan sastra. Tidak pada tempatnya bagi seorang pembaca untuk menuntut pertanggung-jawaban ilmiah dari sebuah karya sastra walau non-fiksi sekali pun.

Dengan kemampuannya merangkai cerita dan memilih kata-kata maka–dalam sebuah karya kreatif–tidak ada lain yang ingin dilakukan oleh seorang penulis daripada bagaimana membuat pembaca agar meyakini gagasannya. Atau sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Joan Didion, “Dalam banyak aspek, menulis itu sebenarnya bisa diibaratkan sebagai aksi untuk mengatakan kepada orang lain, ‘Dengarkanlah saya, lihatlah dengan cara saya melihat, dan ubahlah cara berpikir anda’.”

Saya tidak banyak menemukan buku travel writing yang baik tentang Indonesia dan yang ditulis oleh orang Indonesia. Kebalikannya saya justeru lebih banyak menemukan buku travel writing tentang Indonesia yang ditulis oleh orang asing, dalam bahasa asing dan untuk konsumsi orang asing. Seingat saya, salah satu dari sedikit buku travel writing sebagaimana yang saya maksudkan itu adalah buku “Indonesia–Sebuah Perjalanan Budaya” yang ditulis oleh Umar Kayam dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Sayang sekali buku yang penerbitannya disponsori oleh Mobil Oil, dan yang dicetak dengan tiras yang sangat terbatas itu, tidak diterjemahkan dan dijual kepada umum.

Salah satu buku travel writing lainnya yang juga menarik adalah yang ditulis oleh Romo Mangun . (Saya lupa judulnya). Buku itu merupakan kisah perjalanan yang dilakukannya ke Italia, dan yang dilukis serta dibingkai dalam sebuah kanvas besar gagasan tentang Peradaban Kristen Eropa dalam pandangan seorang Katolik Jawa bernama Mangunwijaya.

Negeri ini adalah sebuah negeri yang sangat beraneka-ragam. Masih banyak cerita, peristiwa dan manusia yang terjadi di Papua sana (atau Rote, Nias, Sumbawa dsb), yang menarik dan perlu diketahui oleh manusia lain di wilayah Indonesia lainnya. Kita masih memerlukan lebih banyak lagi travel writing atau sastra perjalanan dalam proses menjadi sebuah bangsa. Dan kebutuhan itu terasa menjadi lebih mendesak lagi di era globalisasi ini.

Buku travel writing–apalagi yang mengusung sebuah gagasan serius sebagaimana yang kita lihat dalam contoh-contoh terdahulu–memang belum terlalu popular di Indonesia. Saya tidak tahu apa yang menyebabkannya menjadi demikian. Boleh jadi pembaca Indonesia memang belum tertarik membaca yang “berat-berat” dalam sebuah kisah perjalanan. Boleh jadi juga hal ini disebabkan karena travel writing masih merupakan sebuah “barang baru”. Kita—yaitu para penulis—belum banyak melakukan inovasi dalam pemilihan gagasan, pemilihan cerita dan penyampaian narasi serta percakapan.

Tapi boleh jadi juga penyebabnya adalah situasi ekonomi yang dialami oleh para penulis kreatif kita. Mereka sebenarnya mampu untuk “memungut” kisah-kisah yang menarik tentang manusia dan persitiwa yang dijumpainya dalam sebuah perjalanan. Tapi dari mana mereka mendapatkan biaya untuk melakukan perjalanan tersebut?

Oleh karena itu kepada kita yang memiliki kemampuan menulis, dan yang telah berkesempatan melakukan sebuah perjalanan panjang yang menarik, saya ingin menganjurkan agar mulailah menjadi penulis kisah perjalanan. Memang disebakan oleh alasan sebagaimana yang telah saya uraikan di atas, menulis kisah perjalanan belum akan mendatangkan penghasilan bagi kita. Tapi kalau kita memang memiliki sesuatu yang hendak dibagikan kepada orang lain, ingin mengajak orang mendengarkan apa yang ingin kita katakan, ingin mengajak orang melihat apa yang kita lihat, dan ingin membuat orang berpikir seperti apa yang kita pikir, maka kita bisa memulai menulis kisah perjalanan kita sekarang juga. Kita bisa membuat sebuah blog di internet dan mempublikasikan karya sastra perjalanan kita di sana.

Epilog:

Sebulan yang lalu saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi daerah di sekitar Danau Toba selama lebih dari seminggu. Saya berkesempatan untuk mengobrol dengan berbagai manusia di kedai tuak, gereja dan acara perhelatan. Saya berkesempatan untuk melihat rumah-rumah dengan arsitektur tradisionil yang semakin tergusur oleh rumah-rumah dengan arsitektur modern. Saya berkesempatan untuk melihat tugu-tugu marga yang bertebaran dimana-mana di tengah persawahan dan yang umumnya dibangun atas inisiatif perantau. Saya melihat kemiskinan ekonomi di tengah danau dan gunung-gunung yang melingkupinya dan yang selalu memberi kesan misterius itu. Saya pikir saya sudah menemukan sebuah “kanvas dan bingkai besar” tempat saya menorehkan semua cerita tentang manusia dan alam yang saya temukan itu: yaitu tentang menjadi Batak, menjadi Kristen atau Islam, dan menjadi Indonesia. Saya pikir, sudah saatnya juga bagi saya untuk menulis travel writing 🙂

Catatan:

Tulisan ini dibuat sebagai catatan untuk pengantar diskusi “Tentang Travel Writing” bersama Hari Kunzru, yang diselenggarakan oleh Forum Indonesia Membaca atas Kerjasama dengan The British Council Indonesia, TB Aksara dan Museum Bank Mandiri. Selasa, 30 September 2009 di Museum Bank Mandiri, Jakarta.

14 responses to “Tentang Travel Writing, Tulisan Kisah Perjalanan, atau Sastra Perjalanan

  1. Nice posting. Harus sering jalan-jalan nih. Tapi harus dalam waktu lama, ya? Kalau sebentar, pendalamannya pasti kurang. Kira-kira sebulan di satu tempat, udah jadi satu buku, deh. Betul nggak, Tulang?

  2. “Indonesia–Sebuah Perjalanan Budaya” yang ditulis oleh Umar Kayam..Sepertinya saya pernah lihat buku ini saat merapikan buku-buku di perpustakaan pribadi Bapak saya. Tapi karena waktu itu dikejar deadline pindah rumah, saya belum sempat ‘ngopeni’ buku ini untuk masuk ke boks buku-buku saya. Loh, malah curhat. Terima kasih, Ompung. Hehe.. Sampai jumpa siang ini di “Diskusi bersama Hari Kunzru” 🙂

  3. Saya simpan tulisannya ya, Bang…

    Silakan. Dibagi-bagi pun tak mengapa.

  4. Hebat. Sebuah kata yang pantas untuk Ompung. Sebagai pemula figur Ompung merupakan secercah cahaya pendobrak semangat untuk melahirkan karya sastra bermanfaat. Dari segenap jiwa, mohon bimbingan dan arahan. HERLY.

  5. Mantap Tulang! Kek awak nih lah, Tulang ..Terkadang gumpalan cerita di kepala susah diurai di atas kertas. Ada ide pengen menulis tentang sesuatu tp tiba-tiba semua buyar lagi …terakhir tak jadi-jadi tulisan itu Ah !

    Tulang, kkasih dulu aku saran! Mauliate

  6. Salam kenal. Nice blog. Kayaknya perlu berkunjung lagi nih.

  7. Terimakasih atas pencerahannya, Pung. Saya sangat tertarik pada sastra perjalanan Indonesia. Saya harap saya bisa baca buku-buku yang Ompung uraikan di tulisan ini.

  8. Pingback: Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya_part 1 « Sanggita

  9. Pak Mula, saya juga punya impian untuk menulis “travel writing”. Sekarang, tampaknya cukup menikmati tulisan-tulisan Bapak dulu :). Salam.

  10. Nemri Tonggor Hutabalian

    Banyak pengalaman hidup dan perjalan yang ter-copy di kepala tetapi sulit untuk tertulis di kertas.Memang seharusnya kita menulis apa yang kita kerjakan (lakukan) dan mengerjakan apa yang kita tulis.

  11. Kita sudah beberapa kali bertemu di acara kopdar FPK, tapi baru sekarang saya main ke blog bapak. (Baru dicari, sih. Rugi deh! Coba dari dulu. Hehehe…)
    Wah, ternyata menulis perjalanan itu aspeknya sangat luas sekali ya. Hehehe, saya jadi penasaran ingin baca buku-buku yang disebut di atas.

  12. Thanks ‘wat Ompung. Saya sangat tertarik dengan sastra perjalanan. Setidaknya saya bisa melihat apa yang dilihat orang-orang diluar sana. Tulisan Ompung yang lain saya tunggu.

  13. Mantap, Bang, tulisanmu! Omong-omong di Indonesia juga punya travel writer yang hebat, lho. Coba aja baca buku “Perjalanan Asia”-nya Gola Gong. Kalau generasi sekarang baca tulisan Sigit Susanto di milis “Apresiasi Sastra”.

  14. Pasti menarik Bang Mula..! Salam kenal. Jack Kerouac yang on the road menarik kayaknya

Leave a comment