Anas itu, Esbeye banget….!

Oleh: Mula Harahap

Idealnya sebuah partai politik dibentuk karena tujuan ideologis. Dengan kata lain, karena saya memiliki pandangan tertentu tentang cara bagaimana negara ini diselenggarakan, maka saya menggabungkan diri dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama dengan saya. Melalui penggabungan tersebut maka kami berharap akan bisa memperoleh legitimasi yang demokratis untuk berkuasa (atau ikut berkuasa) dalam penyelenggaraan negara. Dan legitimasi kekuasaan tersebut tentu saja kami (partai) peroleh dari kawan-kawan yang memiliki pandangan yang sama dengan kami, dan yang memberikan suaranya kepada kami dalam pemilihan umum.

Hakekat partai seperti tersebut di atas seyogianya berlaku di semua negara demokratis; di AS, Jepang, Rusia dan Indonesia. Tapi setelah Reformasi, dan setelah Indonesia memilih bentuk perpolitikan yang demokratis, saya justeru melihat banyak partai yang tak jelas ideologinya. atau terkesan hanya sebagai kumpulan orang-orang yang ingin berkuasa tanpa perduli bagaimana sebenarnya negara ini harus diselenggarakan.

Salah satu partai seperti yang saya uraikan di atas adalah Partai Demokrat. Saya meliha–maaf–partai ini tak lebih dari sekumpulan orang-orang yang “numpang menang” di bawah “ketiak” popularitas figur SBY. Dan sebaliknya, partai ini juga tak lebih dari sekumpulan orang-orang yang dimanfaatkan oleh SBY untuk menopangnya naik ke kekuasaan lewat sebuah perpolitikan yang demokratis. Sampai sekarang–misalnya–saya tak pernah bisa melihat apa yang membedakan Partai Demokrat dengan Partai Golkar, Partai Hanura dan Partai Gerindra.

Oleh karena itu, disebabkan oleh bobot substansi dan ideologisnya yang kurang atau nyaris tak ada, maka saya pun tak terlalu perduli dengan apa yang dibicarakan Partai Demokrat dalam kongresnya pada tanggal 21—23 Mei 2010 mendatang.

Partai ini hanya mempersoalkan siapa yang paling pantas–antara Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum–yang menjadi Ketua Umum dalam periode mendatang. Dan di dalam kontes mengambil simpati para peserta kongres serta konstituennya itu, saya pun nyaris tak mendengar perdebatan tentang gaya kepemimpinan dan isyu politik yang diusung.

Kedua kontestan itu hanya menonjolkan keunggulan lahiriah masing-masing: Yang satu lebih ganteng, dan yang satu lebih kalem. Saya tidak tahu, apakah inilah memang selera masyarakat pada jaman sekarang, yaitu hanya terpukau pada gaya (bukan subtansi), dan kedua kontestan itu hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Tapi yang jelas–di mata saya–apa yang sedang “dijual” menjelang kongres ini persis dengan apa yang “dijual” SBY pada pemilihan Presiden 2004 dan 2009: citra lahiriah.

Sebenarnya partai-partai lain juga sedang mengalami pengaburan substansi dan pendangkalan ideologi. Tapi di dalam Partai Demokrat, hal tersebut memang sangat nyata terlihat. Misalnya–kecuali Ruhut Sitompul dan Sutan Batugana–saya nyaris tak melihat ada politisi lain di partai tersebut yang bersuara agak keras, “distinct” walau pun nyeleneh. Dan media massa pun tampaknya tak tertarik untuk “mengorek” politisi-politisi lainnya dari Partai Demokrat agar keluar dan bersuara. Media massa justeru lebih tertarik mengumbar cerita percintaan Angelina Sondakh dan Adjie Masaid yang sekarang sudah menjadi suami-isteri, dan bagaimana mereka menyelenggarakan upacara “injak tanah” anak mereka, ketimbang memintai pendapat mereka atas isyu tertentu.

Puncak gambaran tentang betapa parahnya politik pencitraan fisik itu mungkin bisa kita lihat dalam iklan teve kampanye Anas Urbaningrum. “Anas itu, Esbeye banget,” kata seorang ibu di dalam iklan tersebut.

Bagi para anggota dan konstituen Partai Demokrat (terutama kubu Anas Urbaningrum), ucapan ibu tersebut mungkin adalah sebuah “selling point” yang positif. Tapi bagi saya sebagai orang “pinggir jalan” ucapan tersebut agak mencemaskan. Memilih orang yang punya gaya dan karakter seperti SBY? Saya pikir, rakyat Indonesia sudah “kenyang” dengan satu orang seperti SBY. Kalau pun Anas Urbaningrum berhasil menjadi Ketua Umum, saya pikir dia pasti tak akan laku dijual sebagai presiden di 2014 kalau “selling point”-nya adalah “esbeye banget”.

Tapi, akh sudahlah, di 2014 SBY tokh tidak bisa lagi maju menjadi calon presiden. Dan Partai Demokrat pun–partai yang didirikan atas popularitas sosok SBY–pasti akan berantakan. Apalagi kalau dalam kongres mendatang ini mereka tidak berubah, yaitu mau berpikir lebih sungguh-sungguh tentang soal-soal substansi dan ideologi.

Selamat berkongres!

3 responses to “Anas itu, Esbeye banget….!

  1. Sebagai orang “pinggir jalan”, ngapain juga kau cemaskan hal begini, seharusnya kau tertawa senang, ternyata kelompok ini salah pilih orang.

  2. Inilah yang digandrungi masyarakat Indonesia, Amang. Instan!! Termasuk politik instan yang sering kita lihat di layar kaca/koran atau dengar di radio!! Makanya mereka nyaman dengan “bergelantungan di bulu ketiak Esbeye”.

  3. Di Rumah Sakit Pemerintah tempat saya bekerja, cukup banyak pensiunan yang masih bekerja di situ. Seakan mereka nggak mau pensiun dan nggak akan memberi kesempatan yang lebih mulus buat yang muda dan memang belum pensiun. Moga-moga Mas Anas nggak senasib dengan orang-orang yang merasa sulit bergerak karena dilingkungan kaum tua yang nunggu mati di tempat Kerja.

Leave a comment