Anggaran Belanja Negara, Daya Stimulusnya dan Pemerataan serta Keadilan bagi Rakyat

Oleh: Mula Harahap

Bahwa belanja pemerintah melalui APBN bisa menjadi stimulus bagi kegiatan dan pertumbuhan ekonomi negara, itu saya setuju. Dengan kata lain, uang yang dibayarkan Pemerintah kepada seorang kontraktor gedung sekolah, akan dipakai oleh kontraktor itu untuk membayar tukangnya, dan uang yang diperoleh tukang itu akan dipakainya untuk membayar baju seragam anaknya kepada seorang pedagang di pasar, dan uang yang diperoleh pedagang di pasar itu akan dipakainya untuk mencicil pembelian rumahnya kepada seorang pengembang, dan uang yang diperoleh pengembang itu akan dipakainya untuk makan ayam goreng, dst. dst.

Tapi saya pikir daya stimulus itu baru bisa berjalan dengan baik kalau dalam pembangunan ada asas keadilan dan pemerataan. Kalau kontraktor yang membangun gedung sekolah itu hanya terpusat di satu atau sedikit kelompok konglomerasi (misalnya hanya Keluarga Bakrie, Keluarga Eka Cipta Wijaya, Keluarga James Ryadi
dsb) dan toko baju seragam dan warung ayam goreng itu juga hanya terpusat di satu atau sedikit konglomerasi (atau yang lebih parah lagi, konglomerasi yang sama dengan yang membangun gedung sekolah itu), maka uang itu hanya menggumpal di sedikit tempat, tidak mengalir kemana-mana, dan–ibarat oli–tidak memutar seluruh sistem.


Kemudian, saya pikir lagi, daya stimulus itu juga bisa dimaksimalkan kalau Pemerintah memang perduli benar dengan kwalitas dari apa yang sedang dibangunnya itu. Acapkali terjadi bahwa Pemerintah mengklaim bahwa dia sudah mengeluarkan uang ratusan triliun untuk pendidikan. Tapi kalau diteliti uang itu sebenarnya lebih banyak dipakai untuk membangun kantor-kantor Departemen Pendidikan, ketimbang membayar upah guru (elemen paling penting dalam pendidkan) secara lebih layak.

Bahkan sebagai orang yang lama berkecimpung dalam usaha penerbitan buku, saya berani mengatakan bawa hanya dengan mengeluarkan uang yang tidak terlalu banyak (membayar gaji pegawa), tapi membuat keputusan yang tepat, Pemerintah bisa merangsang penerbit swasta untuk menciptakan buku murah dan sekaligus memutar roda industri penerbitan buku. Dan itu artinya Pemerintah tak perlu harus mengeluarkan bertriliun-triliun uang setiap tahunnya untuk menyediakan buku bagi seluruh anak sekolah (sesuatu yang mustahil dilakukan di Indonesia saking besarnya jumlah penduduk), yang dampaknya justeru mematikan swasta, dan yang tidak pula meningkatkan kwalitas pendidikan. (Rencana membangun Gedung DPR yang
baru dengan nilai 20 triliun rupiah itu adalah contoh yang lain. Kecuali menggelontorkan uang sebesar 10 triliun untuk diputar-putar di antara kontraktor, pekerja, toko bahan bangunan dsb, maka apa daya stimulus lain
yang lebih besar yang bisa didapat bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kwalitas hidup rakyat dengan melengkapi fasilitas super mewah bagi para anggota DPR-nya?).

Kemudian, di atas segalanya, daya stimulus yang maksimal hanya bisa dicapai kalau angka tindak korupsi bisa ditekan dalam seluruh jajaran penyelenggara negara.

Oleh karena itulah, kalau Pemerintah selalu membangga-banggakan diri bahwa pertumbuhan ekonomi bisa mencapai hampir 5% dari GDP, maka saya suka bingung dan bertanya-tanya, “Sebenarnya yang menikmati pertumbuhan ini, siapa?”

Kemarin anak buah saya yang menunggui kantor saya di Jalan Howitzer menelepon. Katanya petugas PLN sudah hendak menyegel instalasi listrik kami karena tunggakan 2 bulan belum juga dibayar. Tapi dari mana saya harus mencari duit 1 juta pada saat sekarang ini? Oleh karena itu, kepada anak buah itu saya katakan,
“Kasihlah 20 ribu kepada petugas itu. Dan ngomonglah baik-baik, bahwa tunggakan akan kita selesaikan….”

Kemarin seorang saudara sepupu saya menelepon dan minta tolong. Dia sudah bingung. Pasar tempatnya selama ini berjualan di Kawasan Berikat Nusantara di Cakung akan ditutup. Dia tak tahu lagi bagaimana harus “mengumpani” anak isterinya.

Kemarin adik saya Jonathan Harahap melapor. Saudara sepupu saya (ibu kami kakak-beradik) sudah terserang stroke dan tidak bisa lagi berjalan. Hal yang paling menyedihkan ialah, bahwa saudara sepupu ini tidak menikah. Oleh karena itu terpaksalah dia dibawa ke rumah abangnya yang secara ekonomi hidupnya juga
sangat pas-pasan dan juga baru terkena “stroke ringan”. Kata adik saya, “Terpaksalah Kakak Boru Pakpahan yang mengurusi semua itu. Ngeri sekali. Saya harap saja kakak itu tidak ambruk….” (Dan Ibu saya yang sedang terbujur sakit dan menguping pembicaraan kami berkata, “Aduh, sudahlah itu. Sakit hatiku mendengar semua itu…”).

Kemarin saya mengobrol dengan seorang teman yang adalah juga bekas anak buah saya. Saya bertanya tentang kabar lae-nya yang juga saya kenal. Kata teman saya itu laenya sedang menganggur, kakaknya (itonya) sudah tidak bisa berjalan karena kena diabetes, puteranya terpaksa putus sekolah, bekerja di bengkel dan hanya bisa hidup untuk dirinya sendiri. Keluarga itu terpaksa menggantungkan hidupnya pada puterinya yang bekerja hanya sebagai guru bantu di sebuah sekolah swasta.

Kemarin inanguda saya bertelepon. Minggu ini dia akan membaptis dua cucunya yang sudah menjelang remaja. (Bapak anak itu, adik sepupu saya, hanya bekerja sebagai supir taksi dan tak pernah perduli dengan kehidupan keluarganya). Inanguda saya memang tahu keadaan ekonomi saya yang sedang susah. Tapi karena sudah “mentok” kemana-mana dicobanya juga untuk mengadu kepada saya; kalau-kalau saya bisa membelikan dua potong baju baru kepada boru saya itu.

Kemarin isteri seorang sahabat saya yang sudah almarhum mengadu kepada saya. Dia sudah tidak bisa menebus beberapa potong perhiasannya di pegadaian dan yang ditaruhnya di sana demi untuk memperoleh uang untuk biaya hidup sehari-hari. Dan kemarin adalah hari terakhir baginya untuk melunasi hutang. Kalau tidak, perhiasan itu akan dilelang murah oleh Pegadaian.

Tadinya, saya pikir, mungkin hanya keluarga dan kenalan-kenalan saya saja yang bernasib malang di republik ini. Tapi kalau saya melihat pemberitaan di teve, ada jutaan keluarga yang seperti itu, dan yang bahkan sampai putus-asa dan nekad berbuat yang aneh-aneh: meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil di rumah,
menggorok leher anak-anaknya, mencuri susu di supermarket menjual ganja, menenggak racun, dsb.

Oleh karena itu, setiap kali melihat para petinggi negara bernyanyi-nyanyi dengan pakaian bagus dan badan sehat di gedung yang mewah itu, ingin rasanya saya melempar muka-muka itu dengan sepatu. (Tapi kalau
sepatu saya sampai hilang, dari mana lagi saya harus mencari duit untuk membeli sepatu yang sama?).

Dan saya semakin geram saja setiap kali mendengar bahwa ada perwira tinggi polisi yang memiliki rekening 100 milyar, Gayus Tambunan yang memiliki aset sampai 100 milyar, dan Hadi Purnomo mantan Dirjen Pajak–yang saking kayanya–sampai hari ini kekayaannya belum selesai dihitung dan ditaksir oleh KPK

Kini–saking bingung dan putus asanya–saya selalu berdoa tentang datangnya sebuah revolusi sosial. Dan kalau revolusi itu datang saya pikir saya sudah tahu leher siapa yang harus saya gorok pertama-tama [.]

Leave a comment