Ranjang Pengantin

Oleh: Mula Harahap

Perjalanan naik bus pergi atau pulang ke Sumatera Utara selalu menyenangkan. Banyak sketsa-sketsa kehidupan yang menarik untuk diamati. Salah satunya seperti yang saya sajikan berikut ini:

Menjelang sore, bus Makmur yang saya tumpangi dalam perjalanan Medan-Jakarta, berhenti di sebuah kedai kopi di Siborong-borong untuk mendinginkan mesin, menaikkan penumpang baru, dan memberi kesempatan kepada penumpang lama beristirahat. Saya duduk minum kopi semeja dengan sang supir.

Sebagaimana diketahui dalam sistem pengelolaan bus di Sumatera Utara, supir tidak mempunyai wewenang apa pun dalam pengambilan keputusan untuk menerima penumpang. Wewenang tersebut ada pada cincu sebagai wakil sang pemilik bus, dan calo setempat. Karena itu ketika melihat sebuah tempat tidur dinaikkan di atap bus, sang supir teman saya minum kopi itu hanya bisa mengernyitkan kening.

“Berapa kita dibayar untuk tempat tidur yang sedemikian besar?” tanyanya kepada kondektur. Yang terakhir ini menyebutkan suatu angka.

“Akh, murah sekali,” kata sang supir.

“Yah, kita mau bilang apa? Susah berurusan dengan kawan itu….,” kata kondektur seraya menunjuk seorang calo bertubuh besar dan tampang agak seram yang sedang berdiri sambil kecak pinggang melihat tempat tidur itu dimuat di atap bus.

“Podoman ni ise i?” tanya sang supir.

Si kondektur menunjuk ke sepasang muda-mudi, tampaknya pengantin baru, yang duduk di sebelah saya. Kedua pasangan itu hanya diam saja. Si supir pun menghentikan pecakapannya dengan kondektur. Tapi sementara menyeruput kopi masih diteruskannya juga menggerutu, “So niantusan on angka Parsiborong-borong on. Pola podoman ingkon boanon tu Jakarta. Padahal bahat do podoman songon on di Kalender…..”

Kedua pasangan muda yang memiliki tempat tidur itu hanya tertunduk diam. Sebagai orang yang duduk di hadapan sang supir saya buru-buru mengalihkan pandangan. Saya tak tega. “Apa salahnya mereka membawa tempat tidur ke Jakarta? Siapa tahu ini adalah tempat tidur yang memberi kenangan indah bagi mereka…..” kata saya dalam hati.

Tapi sebagaimana biasanya karakter orang Batak, terlepas dari bagaimana pun omelan sang supir, tempat tidur tokh diangkut juga ke Jakarta. Dan urusan “podoman” atau ranjang pengantin sebenarnya sudah nyaris terlupakan sampai pada jam 4 dinihari besoknya bus yang kami tumpangi mengisi bensin di sebuah pompa bensin selepas Danau
Singkarak.

Sebuah truk berpelat nomor BB yang ada di belakang mengklakson bus kami berkali-kali.

“Ai aha nina i? Alusi jo i …” kata sang supir kepada kondektur. Dan yang terakhir ini pun keluar dari bus.

Dari jendela bus saya melihat percakapan yang serius antara kondektur bus dengan supir truk tersebut. Lalu tiba-tiba kondektur itu kembali menghampiri si supir.

“Nga madabu….” katanya.

“Aha madabu?” hardik sang supir.

“Podoman,” kata kondektur.

Rupanya tumpukan tempat tidur itu telah tersangkut pada talang air yang banyak melintas di atas jalan di daerah Sumatera Barat. Dan karena penumpang tertidur lelap maka tak ada seorang pun yang mendengar bunyi mencrigakan ketika tempat tidur itu tersangkut dan jatuh di jalan.

Seisi bus jadi terbangun karena percakapan yang terjadi antara sang supir dengan kondektur. Kedua pasangan muda-mudi yang kemarin sore naik dari Siborong-borong itu pun terbangun. Tapi mereka diam saja.

“Ta alap ma?!” tanya kondektur.

“Alap? Songon dia muse ma mangalap i. Nga 80 kilometer di pudi an….”

“Jadi, songon dia ma baenonta?” tanya kondektur lagi.

“Bah, toe ma, ta baen pe annon laporan di Jakarta……”

Setelah kondektur memperbaiki tutup terpal yang sudah menganga di atas atap bus tersebut, sang supir kembali mempercepat kendaraannya, keluar dari areal pompa bensi, dan melaju di jalan raya. Tapi seraya mengemudi mulutnya tak berhenti mengomel, “Ai sian nantoari pe nga hudok boasa ingkon boanonta podoman i. So niantusan on par Siborong-borong on. Bah sonari bereng ma……”

Kedua pasangan muda-mudi yang naik dari Siborong-borong itu hanya diam tertunduk di kedinginan dan kegelapan subuh yang menyelimuti bus tersebut.

One response to “Ranjang Pengantin

  1. Tetty Simanjuntak

    “So niantusan on par Siborong-borong on. Bah sonari bereng ma……” Hahaha…Ngeledek orang kampung kami, ya?

Leave a comment