Saya dan Facebook

Oleh: Mula Harahap

Kawan saya seorang Inggeris mengatakan bahwa kalau mereka naik kereta underground di London, maka mereka selalu berusaha untuk duduk tanpa bersentuhan dengan orang di kiri dan kanan, serta berusaha untuk menghindari kontak mata dengan orang di depan. Mereka selalu takut untuk mengganggu privacy orang lain, dan sebaliknya mereka juga tidak mau kalau privacy-nya diganggu. Bahkan pada jam-jam sibuk, ketika kereta sedang padat penumpang, mereka berusaha untuk menjaga “adat” tersebut.

Tapi kata kawan saya itu, hal yang sebaliknya berlaku di Indonesia. Kalau kita sedang naik kereta api, bus atau pesawat terbang kita selalu berusaha untuk melakukan kontak mata, senyum atau sapaan basa-basi dengan orang yang di sebelah atau di depan kita, untuk kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang hangat dan intens. Kita tidak terlalu perduli kalau privacy kita diganggu, dan sebaliknya orang juga tidak segan untuk mengganggu privacy kita.

Ketika saya bertanya kepada kawan saya itu, mana situasi yang lebih disukainya, maka dia dia mengatakan dia lebih suka dengan situasi di Indonesia. Orang lebih hangat, lebih saling perduli, dan lebih manusiawi. Dan karena itulah barangkali di Indonesia tidak terlalu banyak kelihatan di jalan-jalan orang yang bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, atau dengan anjing dan kucingnya.

Saya tidak tahu apakah budaya Indonesia itu baik atau tidak, tapi setidak-tidaknya bagi saya budaya itu menyenangkan dan memberi banyak manfaat.

Ketika saya masih kecil dan tinggal di Medan, maka rasanya saya selalu kepingin tahu segala urusan tetangga, dan sebaliknya mereka juga selalu ingin tahu segala urusan saya. Sampai kepada batas-batas tertentu saya bebas “mengacak-acak” rumah Oom Lo atau Oom Mora, dan sebaliknya anak-anak Oom Lo atau Oom Mora bebas “mengacak-acak” rumah kami. Namboru, tulang atau amanguda kami adalah juga namboru, tulang atau amanguda dari anak-anak Oom Lo atau Oom Mora. Sebaliknya oom atau opa dari anak-anak Oom LO, atau uwak, ujing dari anak-anak Oom Mora, adalah juga oom, opa, uwak atau ujing kami juga. Kulkas Oom Lo adalah kulkas kami juga. Majalah yang dibeli Oom Mora adalah majalah kami juga. Dan sepeda kami adalah sepeda mereka juga. Ketika ompung dan bapak saya meninggal dunia, maka karena situasi rumah yang tidak memungkinkan, mereka disemayamkan di ruang tamu rumah Oom Lo. Sebaliknya ketika Tante Lo meninggal dunia beberapa tahun yang lalu kami semua pulang ke Medan, dan pelayat banyak yang menjadi bingung karena ada beberapa lelaki yang gondrong dan jenggotan, selama dua malam duduk mengelilingi jenazah bersama perempuan-perempuan Cina yang putih mulus.

Ketika saya mulai membangun keluarga dan tinggal di Rawamangun dan Cempaka Putih, saya selalu merasa risih karena hidup bertetangga saya tidak seperti yang saya alami di Medan. Kecuali nama mereka, maka saya tidak tahu apa pekerjaan tetangga saya, dimana anak-anaknya bersekolah, dan–apatah lagi–apa persoalan mereka.

Saya mulai merasa hidup bertetangga yang normal, ketika tinggal di Sumur Batu. Saya mengenal tetangga kiri-kanan lebih dari sekedar “hai-hai”, tapi juga mengambil air mereka kalau listrik mati dan pompa tidak berjalan, atau berbagi oleh-oleh kalau bepergian ke luar kota. Saya juga mengenal semua hansip dan tukang ojek yang ada di pojok dekat rumah saya itu: saya tahu rumahnya, saya tahu persoalan hidupnya, dan saya rasa mereka juga tahu persoalan hidup saya. Saya selalu merasa aman dalam cara hidup bertetangga yang seperti itu. Anak lelaki saya selalu pulang ke rumah jam 2 atau 3 dinihari. Tapi pintu pagar dan pintu rumah tak pernah saya kunci. Saya pikir mereka tahu siapa saudara-saudara dekat saya, dan siapa-siapa orang tak dikenal yang mencoba masuk ke halaman saya.

Kalau saya bepergian dengan alat transportasi umum, maka saya selalu kepingin tahu banyak siapa orang yang duduk di kiri-kanan saya, dan saya juga selalu merasa tidak berkebaratan kalau mereka ingin tahu banyak siapa saya. Setiap manusia adalah buku yang sangat menarik untuk dibaca.

Bagi saya teknologi “social networking” di internet seperti Facebook itu adalah ekstensifikasi sekaligus intensifikasi dari budaya “kampungan” saya untuk mau tahu urusan orang, dan untuk juga memberi tahu urusan saya kepada orang. Dan saya happy dengan itu.

Sebagaimana halnya kehidupan bertetangga rumah atau bertetangga di perjalanan, maka tentu saja untuk untuk memecah kebekuan suasana (istilah kerennya: ice breaking), dan untuk mengirimkan isyarat bahwa saya ingin bercakap-cakap serta menjalin komunikasi yang lebih intens, maka saya tak mungkin berceloteh tentang hal yang serius dan berat. Saya harus berceloteh hal yang ringan (mudah-mudahan lucu) dan yang juga menjadi keprihatinan “lawan” komunikasi saya.

Karena hubungan yang hendak dibangun adalah hubungan yang tulus antar manusia (bukan hendak mencari keuntungan) maka tentu saja kita harus bersikap terbuka.

Menjelaskan ha-hal tentang apa yang sedang kita rasakan, pikirkan atau kerjakan, bagi saya adalah bagian dari membuka diri. Seremeh apa pun hal-hal yang diungkapkan seorang kawan, tapi kalau kita sudah mengenal kepribadian dan karakter kawan itu, maka sebenarnya kita bisa menangkap humor, tragedi, jeritan dsb di balik itu.

Seorang tokoh jurnalistik AS pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia selalu ingin tahu segala hal tentang manusia lain di sekitarnya. Karena itulah majalah-majalah yang memuat kisah tentang manusia seperti “People” dan rubrik “apa dan siapa” di majalah-majalah lainnya selalu lebih dulu dibuka orang.

Bagi saya Facebook adalah sarana manusia untuk saling membaca diri. Dan dari membaca manusia lain itulah hidup kita menjadi diperkaya, menjadi lebih waras, dan menjadi lebih seimbang. Saya memang masih orang Indonesia, yang merasa aman dan nyaman hidup dalam sebuah paguyuban besar, yang selalu mau menjalin hubungan yang tulus dengan sebanyak mungkin manusia, dan yang selalu siap untuk mengganggu atau diganggu orang oleh hal-hal yang sepele maupun serius.

CATATAN:
Suatu kali saya pergi ke Bandung mengunjungi sebuah panti jompo untuk menemui kakak isteri saya yang bekerja di sana. Karena kunjungan itu sehari penuh, maka saya dan puteri saya bebas berkeliaran kesana-kemari berkenalan dengan penghuni panti tersebut. Kami mengobrol (bahkan begosip-gosip) dengan sejumlah nenek-nenek di halaman panti yang asri itu. Kakak isteri saya, yang melihat kami, tertawa terbahak-bahak. “Matilah kita. Bapak dan anak sama saja….nieuwsgierig… selalu mau tahu urusan orang…”

Seminggu yang lalu saya membawa Gisella ke KB Ragunan. Alih-alih tertarik melihat gajah, harimau dsb., anak itu justeru lebih tertarik melihat anak-anak lain sebayanya yang ada di sekitarnya. Dan ketika ada seorang anak lelaki yang menangis, dengan polosnya Gisella berlari mendekat. Lalu dengan kedua tangan terkatup di belakang dan kepala mendongak ke atas, dia bertanya kepada ibu anak itu, “Abang kenapa nangis….?”

One response to “Saya dan Facebook

  1. Jaman sekarang teknologi telah menyerang umat manusia; terutama Facebook. Banyak orang yang menjadi kecanduan untuk mengaksesnya, dan setiap saat selalu meng-updadte status…

Leave a comment