Monthly Archives: February 2008

Just Arrived: Indonesian Maids!

Oleh: Mula Harahap

Sampai beberapa waktu yang lalu, kalau kita membuka halaman The Straits Times edisi hari Sabtu, terbitan Singapura, maka kita akan menemukan satu atau dua halaman yang penuh berisi iklan penawaran pembantu rumah tangga: Just Arrived–Indonesian Maids!

Pembantu rumah tangga yang ditawarkan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja itu memang bukan hanya dari Indonesia; ada juga dari Bangladesh, Sri Lanka, dsb. Tapi pembantu rumah tangga dari Indonesia, yang terkenal tidak banyak rewel, yang mau bekerja lebih keras dengan upah lebih sedikit, dan yang karenanya juga gampang untuk disiksa dan dibodoh-bodohi itu, rupanya adalah produk unggulan. Karena itu jugalah dia selalu dipakai sebagai “heading” atau “caption” iklan. (Mereka tidak saja diminati di Singapura, tapi juga di Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan negara-negara Arab. Jumlah mereka jutaan).

Pilihan untuk meninggalkan kampung halaman, meninggalkan teman-teman sepermainan dan–acapkali pula–meninggalkan suami dan anak-anak, untuk melakukan pekerjaan kasar di sebuah “environment” yang tertutup dan relatif longgar dari perlindungan hukum tentu bukanlah sebuah pilihan yang menyenangkan. Tapi ketika lapangan pekerjaan di kampung halaman sendiri tidak tersedia, dan tampaknya satu-satunya jalan yang–mungkin–bisa mengangkat derajat ekonomi keluarga hanyalah dengan menjadi “babu” di negeri orang, maka pilihan itu tentu harus diambil. Dan sebagai konsekwensinya maka mengalirlah berbagai kisah tragis yang dialami oleh perempuan-perempuan kita–yang umumnya berusia belia itu–di luar negeri:

Continue reading

Impian Masa Kecil Tentang Buku, Membaca dan Bahasa Inggeris

Oleh: Mula Harahap

Kalau saya merenungkan kembali perjalanan hidup ini maka ada beberapa orang di sekitar saya yang pernah membuat saya terkagum-kagum dan secara diam-diam menjadikannya sebagai contoh tentang bagaimana hidup dibangun kalau nanti saya sudah besar.

Orang pertama ialah James Manahan Hutabarat. Dia adalah saudara sepupu (anak amangtua ibu saya). Saya memanggilnya Tulang Manahan.

Di akhir tahun 60-an, setelah bersekolah dan bekerja di Jakarta selama beberapa waktu, Tulang Manahan memutuskan untuk kembali ke Sumatera Utara dan menjadi dosen di IKIP Medan. Ia pulang dengan menumpang kapal laut. Saya diajak oleh ayah untuk ikut menjemputnya di Pelabuhan Belawan dengan mobil pinjaman dari kantor. Tulang Manahan hanya membawa 1 koper berisi pakaian. Tapi yang membuat saya kagum ialah, bahwa ia membawa berpeti-peti buku.

Continue reading

Saya dan Si Kuncung

Oleh: Mula Harahap

Pertama kali saya mengenal Si Kuncung pada tahun 1964, ketika saya masih duduk di kelas 4 SD. Waktu itu kalau saya tak salah ingat, Si Kuncung masih terbit sekali sebulan. Pada tahun-tahun itu Si Kuncung hampir tidak bisa ditemukan di Medan. Karena itu yang saya baca hanyalah Si Kuncung dalam bentuk bundel tahunan, yang selalu dikirim oleh adik ibu saya yang tinggal di Jakarta. Si Kuncung baru menjadi majalah mingguan–kalau saya tak salah ingat–setelah tahun 1966.

Karena ketika itu Si Kuncung masih belum juga bisa ditemukan di toko-toko buku atau kios-kios majalah di seantero Medan, maka ayah memutuskan agar kami berlangganan saja dari Jakarta. Saya masih ingat, bahwa sayalah yang pergi ke kantor pos di depan sekolah, yaitu di Jalan Slamet Ryadi, untuk mengirimkan uang langganan pertama melalui pos wesel. Berkali-kali saya memastikan agar saya tidak berbuat kesalahan dalam menulis nama dan alamat si penerima uang. (“Majalah Si Kuncung. Jalan Madura 2, Jakarta”). Karena itu bisa dibayangkan bagaimana “exited”-nya saya ketika pada suatu hari ayah pulang dari kantor membawa sebuah gulungan majalah yang dibungkus dengan kertas sampul berwarna cokelat dan di label pengirimannya ada logo “Si Kuncung”.

Continue reading

Majalah Tempo, Soeharto dan Yesus

Oleh: Pdt Daniel Taruli Asi Harahap
http://rumametmet.com

Terus terang Tempo adalah satu-satunya media nasional yang melegakan hati saya di hari-hari terakhir sakit mantan presiden Soeharto sampai kepada kematiannya dan pemakamannya. Ketika seluruh media televisi tiba-tiba secara memualkan mendaulad Soeharto sebagai seorang “santo”, “aulia” atau “pahlawan suci tak bercela” hanya majalah Tempolah yang tetap menjaga dirinya kritis dan jernih memandang bekas penguasa digdaya Indonesia selama 32 (tiga puluh dua) tahun. Jauh sebelumnya, Tempo jugalah satu-satunya majalah yang serius melakukan investigasi melacak kekayaan Soeharto dan keluarganya. Tanpa harus mencemooh dan memaki-maki memakai bahasa vulgar, Tempo tetap pada pendiriannya bahwa Soeharto yang setelah mundur dari presiden menjadi manusia tua renta itu adalah figur yang penuh kontroversi di saat berkuasa, yang cenderung menganggap dirinya sebagai raja dengan restu ilahi yang kata-katanya bak sabda tak tersanggah, dan melakukan banyak kekerasan sekehendak
Continue reading