Oleh: Mula Harahap
Sampai beberapa waktu yang lalu, kalau kita membuka halaman The Straits Times edisi hari Sabtu, terbitan Singapura, maka kita akan menemukan satu atau dua halaman yang penuh berisi iklan penawaran pembantu rumah tangga: Just Arrived–Indonesian Maids!
Pembantu rumah tangga yang ditawarkan oleh agen-agen penyalur tenaga kerja itu memang bukan hanya dari Indonesia; ada juga dari Bangladesh, Sri Lanka, dsb. Tapi pembantu rumah tangga dari Indonesia, yang terkenal tidak banyak rewel, yang mau bekerja lebih keras dengan upah lebih sedikit, dan yang karenanya juga gampang untuk disiksa dan dibodoh-bodohi itu, rupanya adalah produk unggulan. Karena itu jugalah dia selalu dipakai sebagai “heading” atau “caption” iklan. (Mereka tidak saja diminati di Singapura, tapi juga di Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan negara-negara Arab. Jumlah mereka jutaan).
Pilihan untuk meninggalkan kampung halaman, meninggalkan teman-teman sepermainan dan–acapkali pula–meninggalkan suami dan anak-anak, untuk melakukan pekerjaan kasar di sebuah “environment” yang tertutup dan relatif longgar dari perlindungan hukum tentu bukanlah sebuah pilihan yang menyenangkan. Tapi ketika lapangan pekerjaan di kampung halaman sendiri tidak tersedia, dan tampaknya satu-satunya jalan yang–mungkin–bisa mengangkat derajat ekonomi keluarga hanyalah dengan menjadi “babu” di negeri orang, maka pilihan itu tentu harus diambil. Dan sebagai konsekwensinya maka mengalirlah berbagai kisah tragis yang dialami oleh perempuan-perempuan kita–yang umumnya berusia belia itu–di luar negeri: